Warta Journalizm - Di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi, muncul pertanyaan klasik yang terus bergema: apakah agama dan ilmu pengetahuan dapat berjalan beriringan? Sejak masa kolonial hingga era digital saat ini, relasi antara keduanya kerap dianggap berseberangan. Ilmu pengetahuan dianggap rasional dan berbasis bukti empiris, sementara agama dilihat sebagai ranah keimanan yang tidak selalu bisa diverifikasi secara ilmiah. Namun, dalam konteks Islam, dikotomi tersebut sebenarnya tidak pernah eksis secara hakiki. Islam sejak awal justru menempatkan ilmu (‘ilm) sebagai bagian integral dari iman.
Fenomena berkembangnya sains modern tanpa nilai spiritual membuat dunia menghadapi krisis etika—dari eksploitasi alam hingga dehumanisasi teknologi. Maka, tantangan umat Islam kini adalah bagaimana mempertemukan kembali agama dan ilmu pengetahuan dalam satu visi profetik: menjadikan ilmu sebagai jalan menuju kemanusiaan dan ketuhanan.
ISI
1. Islam dan Tradisi Keilmuan: Antitesis Dikotomi
Islam memandang ilmu sebagai cahaya yang mengantarkan manusia mengenal Tuhannya. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan manusia untuk berpikir dan meneliti alam sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 190–191). Dalam ayat itu disebutkan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa kegiatan ilmiah bukanlah antitesis dari keimanan, tetapi ekspresi dari keimanan itu sendiri. Meneliti alam adalah bentuk dzikir intelektual yang membawa manusia kepada kesadaran spiritual.
Sejarah Islam pun menunjukkan sinergi kuat antara wahyu dan akal. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Kindi menegaskan bahwa pengetahuan empiris harus diarahkan untuk memahami kehendak Tuhan. Ilmu bukan untuk menyaingi wahyu, melainkan melengkapinya. Hal ini berbeda dari paradigma Barat modern yang memisahkan antara science dan religion sejak masa pencerahan (enlightenment).
2. Paradigma Profetik: Ilmu untuk Humanisasi dan Transendensi
Konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang digagas Kuntowijoyo (1991) menjadi upaya teoretis untuk menjembatani jurang antara ilmu dan agama. ISP menegaskan bahwa ilmu harus berorientasi pada transformasi sosial dengan tiga nilai profetik utama:
Humanisasi (amar ma‘rūf) – ilmu harus memanusiakan manusia, bukan menindasnya.
Liberasi (nahy al-munkar) – ilmu membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Transendensi (tu’minūna billāh) – ilmu mengantarkan manusia kepada kesadaran Ilahiah.
Paradigma ini menolak ilmu yang netral secara nilai. Dalam pandangan profetik, setiap ilmu membawa tanggung jawab etis dan moral. Misalnya, kecerdasan buatan (AI) tidak boleh dilepaskan dari nilai kemaslahatan, bukan sekadar efisiensi ekonomi.
Menurut Al-Attas (1980), krisis ilmu modern adalah “loss of adab”—hilangnya adab dalam memahami realitas. Ilmu tidak lagi diarahkan untuk mengenal Tuhan, melainkan hanya untuk menguasai alam. Maka, integrasi ilmu dan agama menjadi keharusan untuk membangun ilmu yang tidak sekadar rasional, tetapi juga bermoral dan spiritual.
3. Sinergi dalam Praktik: Pendidikan dan Riset Islami
Upaya mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan tidak cukup dalam wacana teoretis, tetapi harus diwujudkan dalam praksis pendidikan dan penelitian. Model pendidikan Islam kontemporer perlu menempatkan ilmu umum dan ilmu agama dalam satu kesatuan epistemologis.
Lembaga seperti Universitas Islam Indonesia (UII), UIN, dan Universitas Muhammadiyah telah mengembangkan konsep integrated curriculum, di mana mahasiswa teknik, ekonomi, atau komunikasi diajak untuk mempelajari etika Islam dan filsafat ilmu. Tujuannya bukan menjadikan semua orang ahli agama, melainkan agar setiap ilmuwan memiliki kesadaran moral-spiritual dalam praktik keilmuannya.
Selain itu, riset ilmiah dapat diarahkan pada solusi berbasis maqāṣid al-syarī‘ah—yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan begitu, riset tidak sekadar mengejar impact factor, tetapi juga impact value terhadap kemanusiaan dan ketuhanan.
4. Tantangan Era Digital: Literasi, Etika, dan Spiritualitas
Di era digital, manusia dibanjiri informasi tanpa batas. Ilmu pengetahuan mudah diakses, tetapi kebijaksanaan semakin langka. Di sinilah nilai-nilai profetik menjadi kompas moral. Prinsip tabayyun (verifikasi informasi) sebagaimana dalam Q.S. Al-Ḥujurāt [49]: 6, relevan untuk melawan disinformasi dan hoaks.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti...”
Etika profetik ini menuntun masyarakat digital agar tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga beradab secara spiritual. Dengan demikian, mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan bukan berarti menafikan modernitas, melainkan mengarahkan kemajuan sains agar tetap berpihak pada kemanusiaan dan ketuhanan.
Agama dan ilmu pengetahuan sejatinya adalah dua sayap yang mengangkat derajat manusia. Ketika salah satunya patah, manusia kehilangan arah—baik keimanan tanpa ilmu maupun ilmu tanpa iman sama-sama berpotensi menjerumuskan. Dalam kerangka Komunikasi Profetik, integrasi keduanya bukan sekadar wacana akademik, melainkan panggilan moral.
Kini saatnya umat Islam menegaskan kembali posisi ilmu sebagai sarana ibadah, bukan alat dominasi. Dengan menghidupkan nilai-nilai profetik dalam riset, pendidikan, dan media, kita tidak hanya membangun peradaban yang maju, tetapi juga beradab. Sebab kemajuan sejati bukanlah pada kecanggihan teknologi, melainkan pada kemuliaan
DAFTAR PUSAKA
Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. International Institute of Islamic Thought and Civilization.
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.
Q.S. Ali Imran [3]: 190–191.
Q.S. Al-Ḥujurāt [49]: 6.
Syamsuddin, A. (2017). Integrasi Agama dan Sains dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 6(1), 45–62.
Zarkasyi, H. F. (2019). Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Konsep dan Implementasi. Gontor Press.
Oleh: Akhmat Syohfi

No comments:
Post a Comment