Warta Journalizm - Di era digital yang serba cepat ini, dunia maya menjadi ruang baru bagi manusia untuk berinteraksi, berdiskusi, bahkan berdebat. Namun, ruang yang awalnya dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan dan mempererat hubungan sosial kini sering kali berubah menjadi arena pertarungan opini dan emosi. Media sosial dibanjiri ujaran kebencian, hoaks, dan konten yang memecah belah. Dalam situasi inilah gagasan komunikasi profetik menjadi sangat penting untuk dihidupkan kembali.
Komunikasi profetik bukan sekadar berbicara tentang bagaimana cara menyampaikan pesan, melainkan tentang bagaimana menghidupkan nilai-nilai kenabian dalam setiap proses komunikasi. Konsep ini berakar dari misi kenabian yang diuraikan dalam Al-Qur’an, yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahy al-munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Ketiga nilai ini merupakan landasan moral yang dapat menjadi panduan etis bagi umat Islam dalam bermedia dan berdakwah di era digital.
Amar Ma’ruf: Humanisasi di Tengah Dunia Maya yang Dehumanistik
Nilai amar ma’ruf mengajarkan kita untuk mengajak manusia menuju kebaikan, dengan menghargai martabat kemanusiaan. Namun, di dunia digital, sering kali manusia justru kehilangan rasa empati karena interaksi yang serba instan. Banyak orang berani berkata kasar di media sosial karena merasa aman di balik layar. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Humanisasi dalam konteks digital berarti menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam komunikasi daring. Misalnya, dengan menghargai pendapat orang lain, menahan diri dari menyebarkan kebencian, dan menggunakan bahasa yang menenangkan. Komunikasi profetik menuntun kita untuk menjadi pengguna media yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab.
Nahy al-Munkar: Liberasi dari Kezaliman Digital
Sementara itu, nahy al-munkar bermakna membebaskan manusia dari segala bentuk keburukan dan ketidakadilan. Di era media sosial, bentuk kezaliman bisa muncul dalam banyak bentuk: penyebaran hoaks, manipulasi opini publik, cyberbullying, hingga eksploitasi privasi orang lain.
Sebagai Muslim, kita diajarkan untuk selalu melakukan tabayyun atau verifikasi informasi sebelum menyebarkannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat ini menjadi dasar bagi etika verifikasi digital. Ketika umat Islam menerapkan prinsip tabayyun, mereka sebenarnya sedang menjalankan bentuk liberasi digital — membebaskan diri dan masyarakat dari belenggu kebohongan dan fitnah. Inilah bentuk nyata nahy al-munkar di dunia maya: melawan kezaliman informasi dengan kebenaran dan kesantunan.
Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi menjelaskan bahwa tujuan ilmu sosial profetik adalah mengubah realitas menuju masyarakat yang manusiawi dan berkeadilan. Maka, perjuangan melawan hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi di media sosial bukan sekadar urusan etika komunikasi, tetapi juga bagian dari dakwah profetik yang membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebencian.
Tu’minuna Billah: Transendensi di Tengah Keletihan Informasi
Nilai ketiga dari komunikasi profetik, tu’minuna billah, mengingatkan bahwa komunikasi sejati harus berpijak pada iman kepada Allah. Di tengah kelelahan informasi (information fatigue) dan keinginan untuk selalu eksis di dunia maya, nilai transendensi sering kali terlupakan. Banyak orang membuat konten bukan untuk memberi manfaat, tetapi demi popularitas.
Komunikasi profetik menuntun kita untuk menata ulang niat: berbicara bukan demi viral, tetapi demi keberkahan. Ketika niat kita dilandasi keimanan, maka setiap tulisan, unggahan, dan komentar bisa menjadi ibadah. Seorang content creator muslim sejati bukan sekadar pembuat konten, tetapi penyampai nilai. Ia sadar bahwa setiap kata yang keluar dari jarinya kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Dengan kesadaran ini, media sosial bisa menjadi ladang dakwah yang penuh pahala, bukan medan perpecahan. Di sinilah pentingnya transendensi: menjaga hubungan dengan Allah di tengah hiruk-pikuk komunikasi manusia.
Menuju Ekosistem Digital yang Profetik
Membangun komunikasi profetik di era digital bukan tugas individu semata, tetapi tanggung jawab kolektif umat Islam. Lembaga dakwah, pesantren, kampus, dan komunitas digital harus bersinergi membangun ekosistem yang mendukung komunikasi yang beretika, terbuka, dan berkeadaban.
Media Islam moderat seperti NU Online, Islami.co, dan Alif.id telah memulai langkah itu: menghadirkan narasi Islam yang menyejukkan, rasional, dan berpihak pada kemanusiaan. Langkah ini perlu diteruskan oleh generasi muda yang melek digital dan berjiwa profetik.
Akhirnya, komunikasi profetik bukan sekadar teori, tetapi jalan hidup. Ia mengajarkan bahwa berbicara adalah amanah, menulis adalah tanggung jawab, dan berdakwah adalah pengabdian. Mari jadikan setiap aktivitas komunikasi sebagai sarana menebar amar ma’ruf, mencegah munkar, dan meneguhkan iman kepada Allah.
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik.” (QS. Al-Isra’: 53)
Di tengah bisingnya algoritma, suara kebaikan mungkin terdengar pelan — tetapi justru di sanalah nilai profetik menemukan maknanya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2019). Kementerian Agama Republik Indonesia.
Bukhari & Muslim. Shahih Hadis Rasulullah SAW.
Hidayat, A. (2021). Etika Bermedia dalam Perspektif Komunikasi Islam. Jurnal Komunika, 15(2), 120–133.
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan.
Rahman, F. (2023). Digital Da’wah and Prophetic Communication Ethics in the Age of Social Media. Islamic Communication Journal, 8(1), 45–60.
Oleh: Sarah Nadya Faridah Salsabila

No comments:
Post a Comment