Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Membangun Jembatan Pengetahuan dengan Nilai-Nilai Profetik

Warta Journalizm - Relasi antara agama dan ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan dan meniadakan satu sama lain. Dalam sisi sains modern atau ilmu pengetahuan modern dianggap rasional, bebas nilai, dan berbasis bukti empiris. Dan dalam sisi agama dipandang mengandalkan wahyu yang absolut dan kadang sulit dibuktikan secara ilmiah. Dalam masyarakat digital saat ini pertentangan itu tampak nyata yakni banyak orang beragama yang curiga pada temuan sains atau ilmu pengetahuan baru dan banyak ilmuwan yang memandang agama hanya sebagai sistem kepercayaan tanpa dasar rasional. Padahal dalam pandangan Islam keduanya tidak perlu dipertentangkan.Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu yakni dimana keduanya berperan sebagai sumber pengetahuan yang saling melengkapi. Akal memungkinkan manusia untuk berpikir kritis, menganalisis fakta, dan memahami fenomena di sekitarnya secara logis dan wahyu memberikan panduan moral, tujuan hidup, dan kerangka etis yang memastikan pemahaman manusia tidak tersesat pada relativitas semata. Keduanya bersama-sama membimbing manusia menuju pemahaman yang utuh tentang realitas dimana aspek material dan spiritual dapat berjalan selaras dan bukan saling bertentangan .


Agar harmoni ini tidak sekadar menjadi konsep abstrak di dalam pikiran individu tetapi juga hidup dan nyata dalam interaksi sosial diperlukan bentuk komunikasi yang lebih dari sekadar menyampaikan informasi. Komunikasi tersebut harus bersifat transformatif yakni mampu menumbuhkan kesadaran, menanamkan nilai moral, dan membimbing penerima pesan untuk memahami dengan pertimbangan cermat dan reflektif. Inilah yang menjadi hakikat komunikasi profetik yakni komunikasi yang meneladani cara Rasulullah menyampaikan kebenaran dengan lembut, bijaksana, persuasif, dan mengedepankan hikmah.


Komunikasi profetik dalam konteks modern tidak lagi terbatas pada pengajaran agama secara langsung di mimbar atau majelis melainkan juga menghidupkan nilai-nilai kenabian dalam wacana ilmu pengetahuan, teknologi, dan media sosial. Artinya dakwah modern dapat dikemas dengan pendekatan ilmiah yang disampaikan melalui platform digital dan tetap menekankan etika, kejujuran, dan tanggung jawab. Dengan cara ini pesan agama tidak hanya diterima secara emosional tetapi juga dipahami secara rasional sehingga tercipta masyarakat yang tidak hanya beriman tetapi juga berpengetahuan, kritis, dan mampu menyikapi arus informasi global dengan bijak.


1. Komunikasi Profetik Sebagai Jembatan Keilmuan. 

Kuntowijoyo menyebut bahwa Islam memiliki basis epistemologi tersendiri yang memadukan wahyu, akal, dan pengalaman empiris manusia . Dengan kerangka ini ilmu pengetahuan tidak dipandang netral tanpa nilai melainkan diarahkan untuk kemaslahatan. Komunikasi profetik hadir untuk mengartikulasikan nilai-nilai tersebut ke dalam ruang public agar kebenaran agama dapat berdialog secara masuk akal dengan dunia ilmiah.


Dalam dunia digital komunikasi profetik juga menjadi alat untuk mengoreksi dua ekstrem yakni yang pertama adalah kelompok yang menolak ilmu karena dianggap mengancam iman dan yang kedua adalah mereka yang menyingkirkan agama dari kehidupan publik atas nama sains modern atau ilmu pengetahuan. Komunikasi profetik mengajarkan keseimbangan yakni akal harus berjalan bersama wahyu dan bukan menggantikannya. Rasulullah Muhammad SAW sendiri menunjukkan bahwa wahyu tidak mematikan daya pikir tetapi justru mengarahkan manusia agar berpikir dengan benar dan beretika.


Dialog antara agama dan ilmu seharusnya tidak berhenti pada debat dogmatis atau mempertahankan pendapatnya sendiri, melainkan berlanjut pada kolaborasi pengetahuan. Dalam konteks ini peran komunikator Muslim baik seperti dai, akademisi, maupun influencer keagamaan sangat penting dalam menerjemahkan nilai profetik menjadi wacana publik yang rasional, lembut, dan menyejukkan.


2. Prinsip Tabayyun dan Etika Penyebaran Informasi. 

Salah satu prinsip utama komunikasi profetik adalah kejujuran dan kehati-hatian dalam menyampaikan pesan. Al-Qur’an menegaskan:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)...” (QS. Al-Hujurat [49]: 6).


Etika tabayyun ini sejalan dengan prinsip ilmiah yakni setiap informasi harus diverifikasi sebelum diyakini kebenarannya. Dalam konteks media sosial tabayyun berarti tidak tergesa-gesa membagikan konten agama, sains, atau isu sosial tanpa sumber valid . Banyak kasus misinformasi berbalut “label Islami” beredar di dunia maya dan menimbulkan kebingungan umat. Padahal Islam menekankan pentingnya berpikir kritis dan adil terhadap setiap informasi .


Selain verifikasi komunikasi profetik juga menuntut tanggung jawab bermedia. Setiap Muslim yang beraktivitas di dunia digital sejatinya memegang peran sebagai “penyampai pesan”. Rasulullah bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari). Hadis ini bukan hanya ajakan untuk berdakwah, tapi juga peringatan agar setiap pesan yang disampaikan harus benar dan bermanfaat. Sikap terbuka dan inklusif adalah fondasi penting dalam berdialog lintas ilmu dan iman . Artinya yakni dalam bermedia, umat Islam hendaknya tidak eksklusif pada kelompoknya sendiri tetapi menjadikan media sebagai ruang perjumpaan yang beradab antara iman, akal, dan kemanusiaan.


Harmoni antara agama dan ilmu pengetahuan tidak akan tercapai jika keduanya terus ditempatkan dalam ruang saling curiga. Komunikasi profetik menawarkan jalan Tengah yakni dengan cara menghidupkan nilai-nilai kenabian dalam cara manusia berkomunikasi dan berpikir. Melalui prinsip tabayyun dan tanggung jawab bermedia, umat Islam dapat menjadi pelaku komunikasi yang cerdas, ilmiah, dan beretika. Ilmu yang berpihak pada kemanusiaan dan agama yang berpadu dengan rasionalitas akan melahirkan masyarakat yang berpengetahuan sekaligus berkeadaban. Maka mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan bukan sekadar idealisme melainkan panggilan profetik untuk menjadikan media dan ilmu sebagai cahaya dan bukan sebagai alat perpecahan.


DAFTAR PUSTAKA

Media Mahasiswa Indonesia. "Ibnu Rusyd: Ketika Akal dan Wahyu Bertemu dalam Harmoni." Diakses 12 Oktober 2025. https://mahasiswaindonesia.id/ibnu-rusyd-ketika-akal-dan-wahyu-bertemu-dalam-harmoni/.

Qurrotul A’yuni, Siti, dan Radia Hijrawan. “Membaca Pemikiran Kuntowijoyo dalam Hubungan Ilmu dan Agama Perspektif Islam.” Qalamuna - Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama 13, no. 1 (2021): 133.

Nasoha, Ahmad Muhamad Mustain, Ashfiya Nur Atqiya, Hilmi Khoiri Thohir, Natasha Aurelia Ramadhani, dan Rosya Ahya Sabila. “Etika Komunikasi dalam Islam: Analisis terhadap Konsep Tabayyun dalam Media Sosial.” ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora 3, no. 2 (April 2025).

Syamsul Bahri dan Komarudin Sassi, "Implementasi Prinsip Tabayyun dalam Etika Komunikasi di Media Sosial," Jurnal Pendidikan Islam 5, no. 2 (2025): 440.

Pratama, Yhouga. “Sampaikanlah Ilmu Dariku Walau Satu Ayat.” Muslim.or.id, diakses pada 12 Oktober 2025. https://muslim.or.id/6409-sampaikan-ilmu-dariku-walau-satu-ayat.html.


Oleh: Muhammad Luqman Hakim

No comments:

Post a Comment