Warta Journalizm - Di tengah derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi, dunia digital kini menjadi ruang utama bagi masyarakat untuk mencari pengetahuan, mengekspresikan pandangan, bahkan berdiskusi soal agama. Namun di balik kemudahan itu muncul pula tantangan besar seperti banjir informasi palsu, tafsir keagamaan yang ekstrem, dan polarisasi antara kelompok yang mengatasnamakan “agama” dan “ilmu pengetahuan”. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam cara kita memahami dan mempraktikkan komunikasi di ruang publik.
Dalam konteks ini, gagasan komunikasi profetik menjadi relevan. Konsep yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo ini menekankan pentingnya nilai-nilai kenabian seperti humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (iman kepada Allah) di dalam proses komunikasi sosial . Komunikasi bukan sekadar transfer informasi tetapi juga sarana membangun keadaban publik. Maka mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan melalui komunikasi profetik berarti mengembalikan fungsi komunikasi pada tujuannya yang luhur yakni membawa manusia pada kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan.
1. Sinergi Agama dan Ilmu Pengetahuan dalam Komunikasi
Agama dan ilmu pengetahuan seringkali dipersepsikan sebagai dua kutub yang berbeda yakni agama yang dianggap kaku sedangkan ilmu pengetahuan rasional dan empiris. Padahal keduanya memiliki tujuan yang sama yakni mencari kebenaran. Dalam Islam, ilmu (‘ilm) tidak dipisahkan dari nilai moral dan spiritual, Allah berfirman:
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]: 9).
Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan merupakan bagian dari ibadah dan harus digunakan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang bebas dari nilai agama berisiko kehilangan arah sementara agama tanpa dasar pengetahuan bisa terjebak pada dogmatisme atau pemahaman yang kuat dengan apa yang diyakini dan menganggap pemahaman yang lain itu salah .
Dalam konteks komunikasi modern, sinergi antara keduanya bisa diwujudkan melalui penyebaran informasi yang ilmiah namun bernilai etis. Dengan contoh para dai digital dan konten kreator keislaman perlu memadukan argumen berbasis riset dengan pendekatan spiritual agar pesan mereka tidak hanya menarik tetapi juga memotivasi. Menurut Alwi Shihab, Islam sejatinya mengajarkan keseimbangan antara ‘aql (akal) dan wahyu, sehingga keduanya tidak perlu dipertentangkan .
2. Etika Verifikasi (Tabayyun) sebagai Fondasi Kebenaran Informasi
Dalam dunia digital yang serba cepat dan kita sering kali membagikan berita tanpa memastikan kebenarannya. Padahal Islam telah lama menegaskan pentingnya verifikasi. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)...” (QS. Al-Hujurat [49]: 6).
Ayat ini menegaskan prinsip dasar komunikasi profetik yakni kebenaran harus didahulukan daripada kecepatan. Sikap tabayyun bukan sekadar tindakan teknis memeriksa sumber tetapi juga wujud tanggung jawab moral untuk tidak menyesatkan publik. Dalam era media sosial, di mana hoaks keagamaan dan disinformasi dapat memicu kebencian, tabayyun menjadi bentuk jihad intelektual .
Etika verifikasi ini juga sejalan dengan prinsip ilmiah yaitu verifikasi data dan fakta sebelum dipublikasikan. Dengan demikian, komunikasi profetik mempertemukan nilai agama dan metode ilmiah yang keduanya mengajarkan kehati-hatian dalam menyampaikan informasi. Seorang komunikator muslim sejati tidak hanya menyebarkan yang benar tetapi juga memastikan kebenaran itu membawa maslahat sosial.
3. Tanggung Jawab Bermedia dan Spirit Dakwah
Media sosial saat ini telah menjadi “mimbar dakwah” baru. Namun, tidak sedikit yang menjadikannya sebagai arena debat kusir, penghukuman moral, bahkan ujaran kebencian atas nama agama. Padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa setiap kata memiliki konsekuensi moral. Tanggung jawab bermedia menjadi bagian dari etika komunikasi profetik yang dimana setiap pengguna media adalah penyampai pesan dakwah, sadar atau tidak.
Kuntowijoyo menegaskan bahwa komunikasi profetik tidak hanya mentransmisikan pesan tetapi juga mengandung dimensi transformasi sosial . Dalam konteks bermedia kata transformasi itu berarti menggunakan teknologi untuk memajukan kemanusiaan dan bukan memperuncing perpecahan. Seorang muslim yang bermedia dengan tanggung jawab berarti meneladani sifat Nabi Muhammad SAW sebagai al-amin yakni sosok yang dipercaya karena kejujurannya dalam menyampaikan pesan.
Komunikasi profetik mengajarkan kita bahwa mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan bukanlah hal yang mustahil. Justru keduanya dapat saling melengkapi yakni agama memberi arah moral sementara ilmu memberi cara rasional. Di era digital ini, umat Islam ditantang untuk menjadi komunikator yang berilmu sekaligus berakhlak. Prinsip tabayyun dan tanggung jawab bermedia adalah dua pilar utama agar dakwah Islam tetap menebar kedamaian di tengah derasnya arus informasi.
Kini saatnya setiap individu muslim tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga agen kebenaran. Setiap klik, komentar, dan unggahan dapat menjadi ladang dakwah jika dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang santun. Dengan komunikasi profetik ini kita tidak hanya menyebarkan pesan tetapi juga membangun peradaban-peradaban yang mengintegrasikan iman, ilmu, dan akhlak.
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik...” (QS. An-Nahl [16]: 125).
Ayat ini menutup ajakan bagi kita semua bahwa komunikasi bukan sekadar bicara, melainkan amanah. Mari bermedia dengan bijak, berdakwah dengan ilmu, dan berkomunikasi dengan akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. (1997). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Detik. Surat Az-Zumar Ayat 9, Jelaskan Perbedaan Orang Berilmu dan Orang Lalai. Detik Hikmah. Diakses pada 12 Oktober 2025. https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-8043117/surat-az-zumar-ayat-9-jelaskan-perbedaan-orang-berilmu-dan-orang-lalai
Nursyam Centre. Islam inklusif : Menuju sikap terbuka dalam beragama. Diakses pada 12 Okotber 2025. https://nursyamcentre.com/artikel/kelas_sosiologi/islam_inklusif__menuju_sikap_terbuka_dalam_beragama_
Kuntowijoyo. (2007). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika (Edisi Kedua). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Oleh: Maula Hidayati Salsabila
No comments:
Post a Comment