Warta Journalizm - Di era media sosial, dakwah tak lagi terbatas pada mimbar masjid atau majelis taklim. Kini, pesan-pesan keislaman berseliweran di TikTok, Instagram, YouTube, dan Twitter. Dai muda bermunculan dengan gaya komunikatif, visual menarik, dan pendekatan kekinian. Fenomena ini menunjukkan pergeseran lanskap dakwah dari ruang fisik ke ruang digital, di mana algoritma dan interaksi daring menjadi penentu jangkauan pesan keagamaan. Namun, di balik kemudahan menyampaikan pesan, tersimpan tantangan besar: bagaimana memastikan dakwah tetap berakar pada nilai-nilai profetik, bukan sekadar mengejar viralitas?
Dakwah digital yang tidak disertai kesadaran kritis terhadap sistem algoritmik berisiko terjebak dalam logika popularitas semata. Literasi algoritmik—yakni pemahaman tentang cara kerja algoritma media sosial dan dampaknya terhadap persebaran informasi—menjadi kunci agar dakwah tidak kehilangan arah. Tanpa pemahaman ini, dakwah bisa terjebak dalam pola komunikasi yang memperkuat bias, mempersempit pandangan, dan menciptakan echo chamber yang menghambat dialog dan keberagaman.
Sebagaimana dijelaskan oleh Hak, Rianti, dan Irfaniah (2022), generasi muda sebagai pengguna aktif media digital membutuhkan pendekatan dakwah yang tidak hanya komunikatif, tetapi juga kritis terhadap struktur media yang mereka konsumsi. Komunikasi profetik dalam konteks ini bukan hanya soal menyampaikan pesan agama, tetapi juga soal membebaskan umat dari dominasi algoritma dan narasi yang tidak adil. Maka, literasi algoritmik menjadi bagian dari liberasi digital dalam dakwah profetik.
Komunikasi profetik adalah pendekatan komunikasi yang meneladani misi kenabian: humanisasi (amar ma‘rūf), liberasi (nahy al-munkar), dan transendensi (tu’minūna billāh). Ketiga prinsip ini tercermin dalam firman Allah SWT: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘rūf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran: 110).
Dalam konteks dakwah digital, pendekatan ini menuntut dai untuk tidak hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga membebaskan manusia dari kebodohan, ketertindasan, dan keterasingan spiritual. Literasi algoritmik menjadi bagian penting dari liberasi digital—membebaskan umat dari manipulasi informasi dan dominasi algoritma yang tidak netral.
Algoritma media sosial bekerja dengan prinsip engagement: konten yang memicu emosi, terutama kemarahan atau ketakutan, cenderung lebih disebarkan. Penelitian oleh Vosoughi, Roy, dan Aral (2018) menunjukkan bahwa berita palsu menyebar lebih cepat daripada berita benar karena sifatnya yang mengejutkan dan emosional. Maka, dai profetik harus mampu melampaui jebakan algoritma dengan menyajikan konten yang mendidik, menyatukan, dan menginspirasi.
Literasi algoritmik bukan sekadar tahu cara membuat konten yang “naik” di beranda. Ia adalah kesadaran bahwa algoritma bisa memperkuat polarisasi dan menyuburkan narasi ekstrem. Seorang dai profetik perlu memahami bahwa popularitas bukanlah indikator kebenaran, dan bahwa algoritma bukanlah wahyu.
Misalnya, ketika menyampaikan pesan tentang toleransi antarumat beragama, dai digital perlu menyadari bahwa algoritma mungkin lebih menyukai konten yang memicu konflik. Maka, strategi komunikasi harus dirancang agar tetap menarik tanpa mengorbankan nilai-nilai profetik. Ini bisa dilakukan dengan pendekatan naratif, visual yang kuat, dan gaya bahasa yang membumi.
Etika verifikasi (tabayyun) juga menjadi kunci dalam bermedia. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti...” (QS. Al-Hujurat: 6). Ayat ini relevan dalam menghadapi banjir informasi di media sosial. Dai profetik harus menjadi teladan dalam menyaring informasi, tidak tergesa-gesa menyebarkan, dan mengedepankan akurasi.
Lebih dari sekadar menyampaikan ajaran ritual, dakwah digital bisa menjadi advokasi sosial berbasis maqāṣid al-syarī‘ah. Tujuan syariat seperti menjaga akal, jiwa, harta, dan kehormatan dapat dijadikan landasan dalam menyuarakan isu-isu sosial seperti kemiskinan, pendidikan, dan keadilan.
Sebagai contoh, kampanye digital tentang perlindungan anak, kesetaraan gender, atau hak pekerja bisa menjadi bagian dari dakwah profetik. Hal ini sejalan dengan gagasan Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang digagas oleh Kuntowijoyo, yaitu ilmu sosial yang berpihak pada nilai-nilai transendensi, humanisasi, dan liberasi.
Dengan memahami literasi algoritmik, dai bisa memilih platform, format, dan waktu yang tepat untuk menyuarakan isu-isu tersebut. Mereka juga bisa membangun komunitas digital yang inklusif, dialogis, dan berorientasi pada perubahan sosial.
Literasi algoritmik adalah keniscayaan bagi dai masa kini. Ia bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi bagian dari tanggung jawab moral dalam menyampaikan risalah Islam. Komunikasi profetik di era digital menuntut kita untuk menjadi komunikator yang sadar, bijak, dan berorientasi pada kemaslahatan.
Maka, mari kita dorong kurikulum dakwah di pesantren dan kampus Islam untuk memasukkan literasi media dan algoritma sebagai bagian dari pembekalan dai masa kini. Literasi ini tidak hanya penting untuk memahami cara kerja platform digital, tetapi juga untuk membentuk strategi komunikasi yang etis, inklusif, dan berbasis nilai-nilai kenabian.
Selain itu, lembaga dakwah dan komunitas Islam perlu membangun ekosistem digital yang mendukung konten edukatif dan moderat. Platform dakwah tidak cukup hanya menyajikan ceramah, tetapi juga harus menjadi ruang dialog, advokasi sosial, dan pembentukan kesadaran publik. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara ulama, akademisi, dan praktisi media untuk merancang strategi dakwah yang relevan dan berdampak.
Dai profetik di era algoritma harus mampu menjadi penjaga nilai, bukan sekadar pengikut tren. Mereka harus berani menyuarakan kebenaran meski tidak populer, dan tetap konsisten menyampaikan pesan yang membebaskan, memanusiakan, dan menghubungkan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, literasi algoritmik bukan hanya alat, tetapi bagian dari jihad intelektual dan sosial.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikan dariku walau satu ayat” (HR. Bukhari no. 3461). Di era algoritma, satu ayat bisa menjangkau jutaan orang. Tapi hanya jika disampaikan dengan hikmah, etika, dan kesadaran profetik.
Maka, mari kita menjadi bagian dari gerakan dakwah digital yang tercerahkan. Bukan hanya menyebarkan pesan, tetapi juga membentuk cara berpikir, membuka ruang dialog, dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta. Dengan literasi algoritmik yang kuat dan komunikasi profetik yang bijak, kita bisa menjadikan media digital sebagai ladang amal dan perubahan sosial yang bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. (2002). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Syamil Cipta Media.
Kuntowijoyo. (2006). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan.
Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146–1151.
Bukhari, M. I. (n.d.). Shahih al-Bukhari. Hadis no. 3461.
Adi, A. (2017). Program televisi daerah sebagai media partisipasi publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musyafak, N., Fabriar, S. R., & Hilmi, M. (2023). Jurnalisme profetik: Respon perguruan tinggi menjawab tantangan dakwah di era digital. Medio: Jurnal Komunikasi dan Dakwah, 5(1), 45–60.
Fadhillah, A. H. (2022). Komunikasi profetik: Strategi berdakwah di era new media. Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Islam, 6(2), 123–135
Asbi, M., Firdaus, S. F., & Hamidah, L. (2025). Strategi dan pendekatan dakwah di era digital pada pemikiran Al Bayanuni. Jurnal An-Nida, 17(1), 1–15.
Hak, A. A., Rianti, F., & Irfaniah, H. (2022). Komunikasi profetik Gen-Z dalam media elektronik: Sebuah tinjauan pengaruh literasi elektronik terhadap penggunaan informasi Covid-19. Adabia Press.
Oleh: Farah Azka Naharina

No comments:
Post a Comment