Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Menegakkan Tabayyun di Era Digital: Etika Bermedia dalam Perspektif Komunikasi Profetik

Warta Journalizm - Di tengah derasnya arus informasi digital, media sosial telah menjadi ruang utama manusia berinteraksi, berdiskusi, bahkan berdebat. Namun, di balik kemudahan berbagi, muncul pula bahaya laten: kabar bohong, ujaran kebencian, dan fitnah yang tersebar tanpa verifikasi. Banyak pengguna terjebak pada budaya “asal sebar” tanpa berpikir panjang tentang dampaknya. Fenomena ini bukan sekadar masalah teknologi, tapi juga masalah moral. Dalam konteks Islam, cara berkomunikasi yang benar bukan hanya soal efisiensi pesan, melainkan juga soal etika dan tanggung jawab sosial. Di sinilah komunikasi profetik hadir sebagai paradigma yang menawarkan solusi: berkomunikasi dengan nilai kenabian.


Komunikasi Profetik dan Nilai-Nilai Dasarnya

Konsep komunikasi profetik berakar dari gagasan Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Ia menegaskan bahwa ilmu sosial, termasuk komunikasi, tidak boleh berhenti pada analisis realitas semata, tetapi harus membawa misi perubahan moral dan spiritual masyarakat. Kuntowijoyo menempatkan nilai-nilai kenabian sebagai inti komunikasi profetik, yaitu humanisasi (amar ma‘rūf), liberasi (nahy al-munkar), dan transendensi (tu’minūna billāh).


Dalam konteks komunikasi digital, paradigma ini menegaskan bahwa setiap pesan yang kita sebarkan harus mengandung unsur kemanusiaan, pembebasan dari kebodohan atau kezaliman, dan penghubung manusia dengan nilai-nilai ilahiah.


Tabayyun: Prinsip Profetik dalam Bermedia

Salah satu prinsip utama dalam komunikasi Islam adalah tabayyun sikap hati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (fatabayyanū) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya...” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 6).


Ayat ini menunjukkan pentingnya verifikasi informasi sebelum mengambil tindakan atau menyebarkan berita. Dalam konteks media sosial masa kini, ayat tersebut terasa sangat relevan. Banyak kasus fitnah, perpecahan, dan kebencian bermula dari unggahan yang disebarkan tanpa tabayyun. Nabi Muhammad ﷺ pun bersabda: "Cukuplah seseorang disebut berdusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar."

Hadis ini menegaskan bahwa menyebarkan berita tanpa memastikan kebenarannya termasuk perbuatan yang tercela.


Dengan demikian, tabayyun bukan hanya etika komunikasi personal, tetapi juga bentuk humanisasi menjaga kehormatan dan hak orang lain agar tidak tercemar fitnah. Sekaligus ia juga transendensi, karena setiap tindakan komunikasi dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.


Tantangan Etika di Era Algoritma

Era digital memperumit praktik tabayyun. Algoritma media sosial kini menentukan apa yang kita lihat dan pikirkan, sering kali memperkuat emosi dan polarisasi, bukan kebenaran. Informasi yang viral bukan karena benar, melainkan karena menarik perhatian dan memicu interaksi. Akibatnya, masyarakat mudah terjebak dalam “gelembung informasi” (filter bubble) yang mempersempit sudut pandang.


Dalam kondisi ini, komunikasi profetik menuntut literasi digital yang lebih dalam — bukan sekadar bisa menggunakan teknologi, tapi memahami bagaimana informasi diproduksi, dimanipulasi, dan disebarkan. Literasi ini bisa disebut sebagai literasi algoritmik, yakni kesadaran kritis terhadap logika mesin yang memengaruhi perilaku komunikasi kita. Seorang muslim yang profetik tidak boleh menjadi korban arus informasi, tetapi justru menjadi pelaku aktif yang mengembalikan komunikasi pada nilai kebenaran dan kemaslahatan.


Komunikasi Profetik sebagai Solusi

Untuk menegakkan kembali budaya tabayyun di era digital, dibutuhkan tiga langkah penting berbasis komunikasi profetik.

Pertama, humanisasi: pengguna media harus melihat setiap individu di balik layar sebagai manusia yang layak dihormati, bukan sekadar akun anonim. Kedua, liberasi: membebaskan masyarakat dari dominasi hoaks dan ujaran kebencian melalui edukasi literasi digital dan fact-checking yang beretika. Ketiga, transendensi: mengaitkan seluruh aktivitas bermedia dengan tanggung jawab spiritual kepada Allah.


Banyak contoh positif bermunculan, seperti gerakan turn back hoax atau komunitas fact-checking berbasis nilai keagamaan yang memeriksa kebenaran informasi sebelum disebarkan. Para da’i dan jurnalis muslim pun mulai mempraktikkan prinsip komunikasi profetik dalam dakwah digital: menyampaikan kebenaran dengan santun, berbasis data, dan menjauhkan diri dari ujaran yang memecah belah.


Penutup

Komunikasi di era digital bukanlah ruang bebas nilai. Ia menuntut kebijaksanaan moral dan spiritual yang kuat. Prinsip tabayyun seharusnya menjadi budaya bermedia bagi setiap muslim yang ingin meneladani Rasulullah ﷺ — sang komunikator agung yang jujur, santun, dan menyatukan umat. Jika komunikasi profetik diterapkan secara luas, maka media digital bukan lagi tempat fitnah berkembang, tetapi menjadi sarana dakwah dan kemanusiaan.


Kini saatnya kita berhenti menjadi “penyebar cepat” dan mulai menjadi “penyaring bijak.” Sebab, di balik setiap klik “bagikan,” ada nilai yang harus dipertanggungjawabkan — bukan hanya di dunia, tapi juga di hadapan Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Bagir, Z. A. (2020). Komunikasi profetik dan tantangan etika digital. Jurnal Komunikasi Islam, 10(2), 155–172.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika. Bandung: Mizan.

Muslim, I. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim.

Nurudin. (2021). Etika komunikasi di era digital. Jakarta: Prenadamedia Group.

Zubair, M. (2020). Digital ethics in the age of algorithms. Jurnal Komunikasi Islam, 10(2), 150–165.

Al-Qur’an al-Karīm, Surah al-Ḥujurāt [49]: 6.



Oleh: Altruis Fawza Kaaf


No comments:

Post a Comment