Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Dakwah Digital dan Literasi Algoritmik: Jalan Baru Komunikasi Profetik di Era Media Sosial

Warta Journalizm - Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang penuh dengan suara dan informasi dari segala arah, umat Islam dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana tetap menjadi bagian dari ruang digital tanpa kehilangan nilai-nilai keislaman yang mendasar, Saat ini, kita tidak hanya kebanjiran informasi, tetapi juga perlahan-lahan dibentuk oleh algoritma media sosial yang secara diam-diam memengaruhi apa yang kita lihat, pikirkan, bahkan rasakan.


Algoritma ini bukan sekadar susunan kode teknis. Ia bekerja berdasarkan data perilaku kita apa yang kita klik, berapa lama kita menonton, apa yang membuat kita marah, senang, atau penasaran. Konten-konten yang bersifat sensasional, memecah belah, atau memicu emosi tinggi sering kali justru lebih mudah menyebar daripada konten yang mendalam, reflektif, dan edukatif. Di sinilah kita menghadapi dilema besar: dakwah semakin luas jangkauannya, tetapi makin berisiko kehilangan kedalaman makna dan nilai etiknya.


Dakwah di Era Algoritma

Dakwah Islam tak lagi sebatas ceramah di mimbar atau pengajian rutin di musholla. Hari ini, platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga X (dulu Twitter) menjadi lahan baru bagi penyebaran pesan keislaman. Siapa pun bisa menjadi "ustaz digital", dan setiap konten bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan orang hanya dalam hitungan jam. Namun, akses yang luas ini membawa tantangan tersendiri.


Platform digital bukanlah ruang netral. Algoritmanya dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Maka konten-konten yang dianggap "menarik" secara algoritmik misalnya yang provokatif atau emosional lebih berpeluang viral dibandingkan dakwah yang mendalam dan sesuai ajaran. Akibatnya, tidak sedikit dai atau influencer keagamaan yang, sadar atau tidak, tergoda untuk "bermain" dalam pola ini demi engagement, views, atau popularitas.


Sebagian bahkan mulai menggunakan judul-judul yang mengandung clickbait, menyampaikan potongan ceramah tanpa konteks, atau bahkan menyebarkan narasi yang menyulut konflik. Ini sangat disayangkan karena sejatinya, dakwah adalah sarana untuk menyebarkan kasih sayang, bukan kemarahan membangun kedamaian, bukan permusuhan.


Dalam konteks ini, dakwah digital perlu dilengkapi dengan literasi algoritmik, yaitu pemahaman kritis terhadap cara kerja platform digital dan dampaknya terhadap persebaran informasi serta pembentukan opini publik. Tanpa kemampuan ini, para pendakwah dapat terjebak dalam sistem yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Literasi algoritmik adalah langkah awal untuk memastikan bahwa teknologi tidak menguasai dakwah, melainkan sebaliknya: dakwah yang membimbing penggunaan teknologi.


Komunikasi Profetik sebagai Kompas Bermedia

Lalu, bagaimana agar dakwah di era digital tetap bernilai dan bermartabat? Di sinilah komunikasi profetik menjadi penting. Konsep ini merujuk pada cara para nabi menyampaikan pesan: tidak hanya menyampaikan kebenaran, tapi juga membawa nilai kemanusiaan (amar ma’ruf), pembebasan (nahi munkar), dan kesadaran spiritual (iman kepada Allah)


Memulihkan Martabat Dakwah dari Ekosistem yang Rusak

Dakwah digital yang profetik tidak akan tercipta dalam ruang kosong. Ia butuh ekosistem yang sehat bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga budaya bermedia. Saat ini, kita melihat kecenderungan di mana pengguna media sosial lebih tertarik pada konflik daripada kedalaman. Bahkan dalam komunitas muslim sendiri, narasi permusuhan, debat kusir antarmazhab, dan konten yang menyudutkan kelompok lain sering kali justru mendapat sambutan luas.


Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan dakwah digital bukan hanya soal algoritma atau individu dai. Kita sedang berhadapan dengan persoalan budaya bermedia yang sudah lama terbentuk. Dalam budaya ini, siapa yang paling keras suaranya, paling cepat menyebarkan, atau paling memancing emosi, akan mendapat tempat di puncak viralitas.


Maka, tugas membangun dakwah digital yang profetik bukan hanya tugas para pendakwah, tetapi juga tugas kita semua sebagai pengguna media. Kita harus menciptakan budaya baru yang menghargai konten reflektif, menghormati perbedaan, dan menahan diri dari menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.


Kita juga perlu menyadari bahwa media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga ruang pembentukan identitas. Bagi sebagian orang, media sosial adalah tempat untuk menampilkan jati diri keagamaannya. Tapi jika jati diri itu dibangun dari konten-konten yang memicu kemarahan, mencaci pihak lain, dan merasa paling benar sendiri, maka yang terbentuk bukan identitas religius yang matang, melainkan identitas digital yang rapuh dan penuh klaim kosong.


Merawat Dakwah dengan Hikmah dan Mau‘izhah Hasanah

Al-Qur’an telah memberikan arahan jelas tentang bagaimana seharusnya kita berdakwah:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mau‘izhah hasanah), dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini mengajarkan bahwa dalam berdakwah, cara penyampaian sama pentingnya dengan isi dakwah. Hikmah berarti menyampaikan dengan kebijaksanaan memilih waktu, tempat, bahasa, dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi audiens. Mau‘izhah hasanah berarti memberikan nasihat dengan cara yang lembut, tidak menyalahkan, dan membangun kesadaran, bukan menjatuhkan.


Dalam konteks media digital, ayat ini sangat relevan. Kita perlu mengedepankan pendekatan yang dialogis, empatik, dan tidak konfrontatif. Sayangnya, banyak konten keagamaan hari ini yang justru mengesankan bahwa dakwah adalah ajang unjuk kekuasaan wacana, bukan sarana membimbing dengan kasih sayang.


Maka tugas kita sebagai pendakwah baik yang aktif maupun pasif adalah menjadikan media sosial sebagai ruang edukatif yang profetik, bukan ladang konflik yang eksploitatif. Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari kekacauan.


Dakwah Masa Kini, Masa Depan Umat

Menjadi dai di era digital bukan sekadar kemampuan berbicara di depan kamera atau membuat konten viral. Dibutuhkan kecerdasan spiritual, emosional, dan digital. Kecerdasan spiritual akan menjaga niat dakwah tetap lurus. Kecerdasan emosional akan membentuk empati dalam komunikasi. Dan kecerdasan digital akan membuat pesan-pesan keislaman mampu bersaing secara sehat di ruang maya yang padat.


Umat Islam memiliki warisan dakwah yang luar biasa mulai dari kelembutan Nabi Muhammad SAW, ketegasan Umar bin Khattab dalam keadilan, hingga strategi dakwah para wali songo yang penuh budaya dan kearifan lokal. Warisan ini harus diterjemahkan ulang dalam konteks digital, tanpa kehilangan jiwanya.


Akhirnya, komunikasi profetik bukan hanya soal bagaimana menyampaikan, tetapi juga untuk apa dan kepada siapa kita menyampaikan. Apakah kita berdakwah untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan, atau hanya untuk mendapatkan validasi sosial dari "like" dan "share" Apakah kita menyampaikan pesan kebaikan karena cinta kepada umat, atau hanya karena ingin tampil sebagai yang paling benar. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan menentukan apakah kita benar-benar mengikuti jejak para nabi, atau hanya menggunakan agama sebagai alat promosi diri.



Daftar Pustaka

Kuntowijoyo. (2006). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: Ayat 6.

Nasr, S. H. (2002). Islam and the Modern World: And Other Essays. Harper & Row.

Rahardjo, Dawam. (1995). Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. Jakarta: Mizan.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs. 



Oleh: M. Rizal Dwi Abidin

No comments:

Post a Comment