Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

ETIKA VERIFIKASI (TABAYUN) DAN TANGGUNG JAWAB BERMEDIA TIKTOK DALAM PANDANGAN KOMUNIKASI PROFETIK

Warta Journalizm - TikTok kini menjadi salah satu platform media sosial paling populer di Indonesia, dengan lebih dari 124 juta pengguna aktif setiap bulannya. Mayoritas penggunanya adalah remaja dan dewasa muda berusia antara 16 hingga 34 tahun kelompok yang dikenal paling aktif dalam berinteraksi serta berkomentar di dunia digital.  Namun, tingginya tingkat keterlibatan ini tidak sebanding dengan kemampuan literasi digital masyarakat. Berdasarkan survei Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center pada tahun 2022, indeks literasi digital Indonesia hanya mencapai 3,54 dari skala 5, yang menempatkannya pada kategori sedang. Aspek yang paling lemah adalah kemampuan berpikir kritis terhadap informasi serta etika dalam berkomunikasi secara daring. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pengguna, termasuk audiens TikTok, masih kesulitan membedakan antara fakta dan hoaks, serta belum memiliki kesadaran etis dalam berkomentar maupun bereaksi terhadap konten. 


Temuan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) turut memperkuat kondisi tersebut. Lebih dari 60% penyebaran hoaks di media sosial dilakukan bukan oleh pembuat konten asli, melainkan oleh pengguna biasa yang membagikan ulang tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Ini mencerminkan karakteristik pengguna TikTok yang cenderung impulsif, cepat menilai, dan sering menyebarkan informasi secara emosional tanpa berpikir kritis. 


Dengan demikian, masalah degradasi komunikasi di TikTok bukan hanya bersumber dari pembuat konten, tetapi juga diperparah oleh perilaku penonton yang tidak menerapkan prinsip tabayyun, tidak menjaga etika dalam berkomentar, serta menganggap perilaku tidak bijak di dunia digital sebagai sesuatu yang wajar atau menghibur. Fenomena ini menunjukkan bahwa “kebodohan digital” bukan sekadar kurangnya pengetahuan, tetapi juga ketidakpedulian terhadap kebenaran dan etika. Bahkan, sebagian pengguna dengan sengaja menampilkan sisi “kurang cerdas” sebagai bentuk humor sarkastik atau ironi. 


Komunikasi profetik merupakan konsep baru dalam kajian ilmu komunikasi yang berakar pada pola komunikasi Rasulullah Muhammad saw., yang sarat dengan nilai moral dan etika. Gagasan ini menjadi landasan baru bagi praktik komunikasi dalam perspektif Islam, sekaligus mengintegrasikan prinsip-prinsip keislaman dengan teori komunikasi modern yang telah berkembang sebelumnya.  Komunikasi yang berlandaskan nilai dan etika Islam seharusnya menjadi pedoman bagi umat Islam dalam berinteraksi. Kehadiran komunikasi profetik menawarkan dasar moral dan spiritual bagi setiap proses pertukaran informasi antar manusia. Integrasi antara ilmu komunikasi dan ajaran Islam menjadi pembeda utama yang menjadikan praktik serta isi pesan komunikasi lebih bermakna dan bernilai etis. Dalam konteks ini, muncul gagasan tentang komunikasi yang tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan dari kebodohan dan ketertindasan (liberasi), serta menghubungkan manusia dengan nilai ketuhanan (transendensi). Konsep komunikasi profetik menekankan pentingnya nilai dan etika agar komunikasi umat Islam memiliki identitas yang khas dan bermartabat. 


Sebagai kerangka baru dalam praktik komunikasi Islam, komunikasi profetik berperan seperti “imunisasi” terhadap dampak negatif kemajuan teknologi komunikasi modern. Dengan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi kenabian, konsep ini dapat memperkuat kesadaran etis para pengguna media, baik sebagai komunikator, penerima pesan, maupun pengelola media. Hal ini diharapkan mampu menciptakan daya tahan moral dalam menghadapi derasnya arus informasi dan perubahan sosial.  


Perkembangan Teknologi modern dalam menghadapi reaksi dari beberapa pemangku kepentingan terhadap munculnya neokolonialisme di perusahaan media hingga kegiatan praktik media yang dianggap dehumanisasi. Secara khusus, teknologi digital dikatakan masih memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Salah satu konsekuensinya adalah adanya orang-orang yang rentan dan artifisial yang tidak memiliki waktu untuk memproses informasi dengan baik. 


Ketika prinsip tabayyun atau verifikasi informasi diabaikan, komunikasi digital dapat berubah menjadi pemicu perpecahan, fitnah, bahkan kekerasan simbolik. Penonton TikTok yang tidak memeriksa kebenaran suatu informasi sebelum berkomentar atau membagikannya berisiko menimbulkan efek berantai berupa penyebaran misinformasi, perundungan daring (cyberbullying), hingga penghakiman publik (public shaming). Dalam konteks TikTok, karakteristik platform yang memungkinkan komentar instan dan penyajian konten yang serba cepat turut memperkuat kecenderungan tersebut. Akibatnya, banyak penonton bereaksi secara spontan dan emosional tanpa menimbang nilai-nilai etika komunikasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

 

Dalam Al-Qur’an, sikap terburu-buru tanpa memeriksa kebenaran informasi dikaitkan dengan jahālah (ketidaktahuan atau kebodohan), sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ḥujurāt ayat 6: “agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan.” Ayat ini menegaskan bahwa tindakan yang “kurang cerdas” tidak selalu berasal dari kurangnya pengetahuan, tetapi juga dari kegagalan menahan diri dan keengganan untuk menelusuri kebenaran terlebih dahulu.


Fenomena penyebaran hoaks yang masif bukan hanya tanggung jawab pembuat konten, melainkan juga penonton yang ikut menyebarkan informasi tanpa kredibilitas dan klarifikasi. Sikap ini mencerminkan degradasi komunikasi yang tidak sehat, di mana emosi sesaat lebih dominan daripada penalaran kritis dan etika dalam berinteraksi. Budaya kebodohan digital sebagai hiburan menunjukkan hilangnya nilai humanisasi dalam komunikasi, sehingga penting untuk kembali mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan etika (humanisasi) agar interaksi sosial di media digital lebih bermartabat.


Solusi dengan Pendekatan Komunikasi Profetik

Humanisasi: Menanamkan nilai kemanusiaan dalam komunikasi, yaitu menghargai martabat dan hak setiap individu untuk menerima informasi yang benar dan perlu klarifikasi. Edukasi literasi digital harus mengarah pada kesadaran bersama bahwa penyebaran informasi palsu secara emosional dapat merusak harmoni sosial. Penguatan empati dalam menyikapi informasi bisa mengurangi reaktivitas irasional dan komentar tidak etis.


Liberasi: Membebaskan pengguna media sosial dari jebakan hoaks dan kebodohan digital dengan meningkatkan kesadaran dan kapasitas kritis. Literasi media yang kuat, terutama tabayun sebagai sikap penting dalam menerima informasi, harus dikembangkan sehingga masyarakat tidak hanya jadi penonton pasif, tetapi aktif memverifikasi dan menilai informasi secara benar. Kampanye anti-hoaks perlu digencarkan sebagai upaya liberasi dari dominasi disinformasi.


Transendensi: Mendorong masyarakat melampaui ego dan emosi sesaat (reaktif) dalam berkomunikasi, menuju komunikasi yang beretika, rasional, dan bermakna. Transendensi ini mengajak masyarakat untuk mengutamakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kedamaian dalam interaksi digital yang membangun kualitas sosial dan spiritual.


Mari sebagai pengguna media sosial, khususnya di TikTok, kita tidak hanya sekadar menjadi penonton dan penyebar informasi. Jadilah agen perubahan komunikasi yang berani melakukan tabayun: klarifikasi sebelum membagikan; menjaga etika dalam berkomentar; dan memanusiakan setiap pesan yang kita terima. Dengan ini, kita bukan hanya melawan hoaks, tapi juga membangun peradaban digital yang cerdas, beradab, dan bermartabat.


Referensi

Abdillah, Nur. “Nilai Qurani Dalam Media Sosial: Tabayyun Dan Etika Komunikasi,” 2020, 1–9. https://tafsirq.com/en/49-al-hujuraat/verse-6.


Herman Jamaluddin, Aguswandi, and Syahrul. “Komunikasi Profetik Islam (Nilai Dan Etika Komunikasi Persfektif Islam).” Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 1, no. 2 (2020): 39–43. https://doi.org/10.55623/au.v1i2.12.


Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) & Katadata Insight Center. Survei Literasi Digital Indonesia 2022 (Jakarta: Kominfo, 2022).


Kurniawan,D. “Psikologi Digital: Fenomena dan Dampak Interaksi Online.” Jurnal Psikologi Terapan. Vol. 9, No. 2 (2021): 112–123.


Muhlis, Muhlis, and Musliadi Musliadi. “Komunikasi Profetik Di Media Sosial.” RETORIKA : Jurnal Kajian Komunikasi Dan Penyiaran Islam 4, no. 2 (2022): 82–92. https://doi.org/10.47435/retorika.v4i2.1177.


Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Laporan Penanganan Hoaks di Media Sosial 2023. diakses dari: https://www.mafindo.or.id/laporan-hoaks-2023. 


Syahputra, Iswandi. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007):113-115.


Syahputra Iswandi. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan): 9


We Are Social & Kepios. Digital 2024 Indonesia. diakses dari: https://wearesocial.com/digital-2024-indonesia.


Oleh: Risky Nur Azizah

No comments:

Post a Comment