Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Komunikasi Profetik di Era Digital: Menjadi Netizen yang Bernilai Keislaman

Warta Journalizm - Di era serba daring ini, kita semua adalah komunikator. Setiap kali menulis status, mengirim komentar, atau membagikan berita, sesungguhnya kita sedang berkomunikasi dan memengaruhi orang lain. Namun, pernahkah kita berpikir: apakah cara kita berkomunikasi di dunia digital sudah mencerminkan nilai-nilai Islam? Inilah pentingnya memahami komunikasi profetik — model komunikasi yang terinspirasi dari misi kenabian: amar ma’ruf (humanisasi), nahy al-munkar (liberasi), dan tu’minūna billāh (transendensi). Konsep ini pertama kali digagas oleh cendekiawan Muslim Kuntowijoyo, yang mengajak kita melihat ilmu sosial — termasuk komunikasi — bukan sekadar alat menjelaskan dunia, tapi juga mengubahnya menjadi lebih manusiawi, adil, dan spiritual.  


 1. Humanisasi: Menyapa Dunia Digital dengan Akhlak

Media sosial sering kali menjadi arena yang bising: perdebatan, hujatan, dan kabar bohong berseliweran setiap detik. Padahal Islam telah memberi pedoman jelas dalam berkomunikasi. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)...” (QS. Al-Hujurat: 6) Ayat ini mengajarkan prinsip verifikasi — dasar penting dalam literasi digital Islam. Sebelum membagikan berita, kita diminta menahan diri dan memeriksa kebenarannya. Itulah bentuk humanisasi dalam komunikasi: menghargai orang lain dengan cara menjaga keakuratan informasi. Humanisasi juga berarti berempati. Di dunia maya, kata-kata bisa melukai. Maka, menjadi Muslim di era digital berarti menebar kedamaian dan kasih sayang, bukan permusuhan. 


 2. Liberasi: Membebaskan, Bukan Menekan

Nilai kedua dari komunikasi profetik adalah liberasi — semangat membebaskan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan ketidakadilan. Dakwah Nabi bukan sekadar ajakan spiritual, tapi juga gerakan sosial yang membela kaum lemah dan tertindas. Dalam konteks media digital, liberasi bisa berarti: Menggunakan media untuk mengedukasi masyarakat. Menyuarakan keadilan dengan cara santun dan beretika. Melawan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah digital. Aktivis muda, jurnalis Muslim, dan konten kreator dakwah bisa menjadi agen pembebasan dengan konten yang mencerahkan, bukan menyesatkan. Mereka adalah penerus misi kenabian di dunia maya. 3. Transendensi: Menyambungkan Dunia dengan Tuhan


Transendensi berarti menghadirkan nilai ketuhanan dalam setiap tindakan komunikasi. Bagi seorang Muslim, berbicara — bahkan di ruang digital — bukan hal remeh. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pesan ini sederhana namun dalam: setiap kata adalah ibadah atau dosa. Dengan kesadaran transendensi, kita tidak asal menulis atau berkomentar. Kita sadar bahwa Allah Maha Mendengar, bahkan atas isi chat dan postingan kita. 


4. Menjadi Komunikator Profetik di Media Sosial Menjadi komunikator profetik bukan berarti harus menjadi ustaz atau penceramah. Siapa pun bisa menjalankannya — mahasiswa, influencer, pebisnis, atau pengguna media sosial biasa. Kuncinya ada pada niat dan nilai yang kita bawa dalam berkomunikasi. Beberapa langkah sederhana yang bisa kita mulai:

1. Verifikasi sebelum berbagi. Jangan jadi penyebar hoaks.

2. Gunakan kata-kata yang menenangkan. Kurangi debat yang tidak produktif.

3. Sebarkan inspirasi dan ilmu. Gunakan media sosial untuk kebaikan.

4. Ingat Allah di setiap postingan. Niatkan dakwah kecil dalam setiap unggahan.

Dengan langkah-langkah kecil ini, kita bisa menjadikan dunia digital lebih manusiawi dan spiritual.


Penutup

Komunikasi profetik mengajarkan bahwa berbicara bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi juga soal menjaga hati dan niat. Di tengah derasnya arus informasi dan konten negatif, nilai-nilai kenabian menjadi kompas moral agar kita tetap bijak, jujur, dan beradab. Menjadi komunikator profetik berarti menjadi penyambung misi Nabi di era digital — menebar kebaikan, membebaskan dari kebodohan, dan menghadirkan Allah dalam setiap kata. Jika semua netizen Muslim menerapkan prinsip ini, dunia maya akan menjadi ruang yang damai, bermartabat, dan bernilai ibadah.



DAFTAR PUSTAKA


Fazri, Anhar, Muhammad Faisal, and Putri Maulina. “Manajemen Islam Dalam E-Commerce: Studi Tentang Strategi Komunikasi Profetik.” Idarotuna, 2022. https://doi.org/10.24014/idarotuna.v4i2.16853.

Herman Jamaluddin, Aguswandi, and Syahrul. “Komunikasi Profetik Islam (Nilai Dan Etika Komunikasi Persfektif Islam).” Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 2020. https://doi.org/10.55623/au.v1i2.12.

Muhlis, Muhlis, and Musliadi Musliadi. “KOMUNIKASI PROFETIK DI MEDIA SOSIAL.” RETORIKA : Jurnal Kajian Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 2022. https://doi.org/10.47435/retorika.v4i2.1177.

Mutiara, Destita. “Nilai-Nilai Komunikasi Profetik Dalam Syair Gurindam Dua Belas (Analisis Semiotik Ferdinand De Saussure ).” Jurnal Studi Islam Dan Kemuhammadiyahan (JASIKA), 2021. https://doi.org/10.18196/jasika.v1i2.12.

Rahman, Muh. Aswad, Aldiawan, and Badar. “KONSEP KOMUNIKASI PROFETIK (KENABIAN) SEBAGAI STRATEGI DAKWAH.” SHOUTIKA, 2023. https://doi.org/10.46870/jkpi.v2i1.215.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat (49): Ayat 6.

Burhanuddin, N. (2020). Komunikasi Profetik dan Tantangan Dakwah Digital. Jurnal Komunikasi Islam, 10(2), 145–160.

Syamsuddin, M. (2021). Literasi Digital dan Dakwah Moderat. Islamic Communication Journal, 3(1), 22–35. 



Oleh: Arifa Ayu Fitriani

No comments:

Post a Comment