Warta Journalizm - Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah dakwah Islam. Jika dahulu dakwah identik dengan mimbar, masjid, dan majelis taklim, kini pesan keislaman hadir melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Fenomena ustaz digital atau pendakwah konten kreatif menjadi tren baru di kalangan generasi muda. Namun, bersamaan dengan itu muncul kekhawatiran: apakah pesan keislaman masih dijaga kesuciannya di tengah logika algoritma yang menilai dari jumlah “like” dan “views”?
Sistem algoritma media sosial bekerja berdasarkan engagement semakin banyak interaksi, semakin tinggi peluang suatu konten muncul di beranda pengguna. Sayangnya, konten yang emosional dan kontroversial lebih mudah viral daripada yang mendalam dan edukatif. Akibatnya, dakwah profetik yang menuntut kedalaman makna bisa tersisih oleh konten sensasional. Fenomena ini menjadi isu aktual keislaman: bagaimana menjaga nilai dakwah agar tetap profetik dalam ekosistem algoritmik yang berorientasi pada viralitas, bukan kebenaran.
1. Komunikasi Profetik: Meneladani Nilai Kenabian
Teori Ilmu Sosial Profetik di Indonesia, yang mempunyai makna ilmu kehidupan sosial yang berdasarkan kehidupan Nabi. Berasal dari surat Al-Imron ayat 110, Kuntowijoyo merumuskan menjadi 3 point, yaitu Amar Ma’ruf (Humanisasi), Nahi Mungkar (Liberasi) dan Tu’minunabillah (Transendensi). Nilai-nilai tersebut menggambarkan arah dakwah yang tidak hanya menyampaikan ajaran, tetapi juga memanusiakan manusia, membebaskan dari kebodohan dan ketidakadilan, serta mengarahkan kesadaran menuju Allah.
Dalam konteks dakwah digital, nilai humanisasi menuntut agar dai bersikap santun dan memahami psikologi audiens daring; liberasi menuntut pembebasan dari keterikatan algoritma yang menyesatkan, seperti hoaks dan ujaran kebencian; sedangkan transendensi menuntun agar dakwah tidak berorientasi pada ketenaran semata, melainkan pada keridhaan Allah SWT.
Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Dengan demikian, dakwah digital tidak boleh kehilangan ruh kenabian meskipun disampaikan melalui teknologi modern.
2. Integrasi Agama dan Ilmu Pengetahuan dalam Dakwah Digital
Seringkali agama dan sains diposisikan sebagai dua hal yang bertentangan. Padahal, Islam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari iman. Dalam QS. Al-Mujādalah [58]:11, Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
“Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”.
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan menjadi faktor peningkat derajat keimanan manusia. Dalam konteks digital, memahami cara kerja algoritma, media sosial, dan data bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan bagian dari ijtihad intelektual.
Ali Murtopo (2021) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa integrasi agama dan sains diperlukan agar nilai wahyu tidak tercerabut dari kemajuan teknologi. Sementara itu, Arif Rizki dan Salmi Wati (2024) menambahkan bahwa pendidikan Islam modern harus mengajarkan “ilmu yang mengabdi kepada nilai ilahiah”, bukan sekadar teknologi tanpa arah moral.
Maka, literasi algoritmik dalam dakwah adalah bentuk penerapan integrasi tersebut yakni menggunakan pengetahuan ilmiah tentang sistem digital untuk tujuan keagamaan yang luhur.
3. Literasi Algoritmik sebagai Bentuk Ijtihad Profetik
Literasi algoritmik berarti kemampuan memahami bagaimana sistem algoritma bekerja dan dampaknya terhadap persebaran informasi. Dalam dakwah, ini menjadi penting karena algoritma menentukan pesan mana yang lebih sering muncul di layar pengguna.
Penelitian Marlenda dan Bashori (2023) menunjukkan bahwa dai dengan literasi digital tinggi mampu membuat konten dakwah yang edukatif sekaligus menarik tanpa kehilangan nilai Al-Qur’an. Sementara itu, Nashoihul Ibad (2022) menekankan bahwa pendakwah TikTok yang paham algoritma dapat menggunakan strategi komunikasi kreatif untuk menyampaikan pesan dengan gaya yang diterima audiens muda.
Dengan kata lain, memahami algoritma adalah bagian dari ijtihad komunikasi profetik: beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan nilai. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah komunikator yang visioner beliau menyesuaikan metode dakwah sesuai konteks masyarakatnya. Dalam QS. An-Nahl [16]:125 Allah berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik...”
Ayat ini menjadi dasar bagi dai untuk menggunakan strategi yang cerdas, termasuk dalam memanfaatkan teknologi, asalkan tetap berlandaskan nilai-nilai hikmah dan akhlak.
Era digital menuntut dai dan pegiat dakwah untuk tidak hanya melek agama, tetapi juga melek algoritma. Ketika teknologi menjadi wadah utama penyebaran pesan, maka memahami cara kerjanya menjadi bagian dari tanggung jawab profetik. Dakwah bukan lagi sekadar ceramah, melainkan juga proses edukasi digital yang memerdekakan umat dari bias algoritma.
Oleh karena itu, dakwah profetik di era algoritma harus menggabungkan iman dan ilmu, nilai dan nalar, serta hikmah dan teknologi. Seorang dai modern perlu menjadi ilmuwan yang berakhlak, bukan sekadar konten kreator yang populer.
“Ketika dakwah mampu menembus algoritma, maka iman dan ilmu tidak lagi berjarak melainkan berpadu dalam satu misi: menebar cahaya di ruang digital.”
DAFTAR PUSTAKA
Amanatullah, Faiz. “Pendidikan Profetik Ala Kuntowijoyo”. Suara Muhammadiyah. https://web.suaramuammadiyah.id/2020/04/25/pendidikan-profetik-ala-kuntowijoyo/.
Aswad, Muh., Abd. Rahman, Aldiawan dan Badar, ”Konsep Komunikasi Profetik (Kenabian) Sebagai Strategi Dakwah”, SHOUTIKA 2, No 1, (2022). 13. file:///C:/Users/user/Downloads/KONSEP+KOMUNIKASI+PROFETIK+SEBAGAI+STRATEGI+DAKWAH.pdf.
Marlenda, Marlenda & Bashori, Bashori. “Peran Literasi Digital dalam Dakwah Berbasis Al-Qur’an: Implementasi dan Tantangan di Media Sosial.” Al-Ukhwah: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam (2023).
Murtopo, Ali. “Integrasi Agama dan Ilmu Pengetahuan.” Al-Afkar: Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Indragiri (2021)
Nashoihul Ibad, M. “Strategi Literasi Dakwah Digital di Era Media Sosial TikTok: Tantangan dan Peluang.” Al-Qudwah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam (2022).
Nuonline, Q.S Al-Mujadalah, https://quran.nu.or.id/al-mujadilah
Nuonline. Q.S An-Nahl. https://quran.nu.or.id/an-nahl.
Rizki, Arif Aulia & Wati, Salmi. “Integrasi Ilmu Pengetahuan Umum dan Agama dalam Pendidikan Islam Modern: Tantangan dan Peluang.” Jurnal Budi Pekerti Agama Islam, Vol. 3, No. 1 (2024).
Safitri, N. “Literasi Algoritmik dan Tantangan Dakwah di Era Digital.” Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 12, No. 2 (2022).
Oleh: Muhammad Nor Hasan
No comments:
Post a Comment