Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Komunikasi Profetik Sebagai Wujud Humanisasi Di Era Modern

Warta Journalizm - Dunia modern kini tengah dilanda krisis kemanusiaan. Kini kita hidup di zaman dimana teknologi membuat komunikasi lebih cepat, tetapi empati justru semakin langka. Bahkan dimedia sosial, perundungan digital, ujaran kebencian serta dehumanisasi menjadi fenomena sehari-hari. Dalam situasi ini, nilai-nilai komunikasi profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo melalui konsep humanisasi (amar maruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu minunabillah) menjadi semakin relevan. Komunikasi bukan sekadar alat bertukar pesan saja, akan tetapi juga sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Konsep humanisasi dalam komunikasi profetik mengandung makna untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia sebagaimana harusnya sebagai makhluk yang memiliki akal, perasaan, serta nilai kemanusiaan. Dalam realitas sosial saat ini, praktik komunikasi sering kali kehilangan sentuhan kemanusiaannya. Banyak orang mudah menghakimi, menyalahkan, bahkan menjadikan penderitaan orang lain sebagai bahan hiburan demi mendapatkan perhatian atau engagement. Padahal, esensi sejati dari komunikasi adalah menumbuhkan rasa empati dan kepedulian, bukan bersifat eksploitatif.


Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai kedamaian dan kasih sayang bagi seluruh umat manusia serta alam semesta. Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang damai dan penuh kelembutan. Banyak orang yang akhirnya memeluk Islam karena tutur katanya yang halus serta kepribadiannya yang luhur. Dalam berinteraksi dengan non-Muslim, Nabi selalu menunjukkan sikap ramah, jujur, dan bijaksana. Akhlak beliau yang mulia inilah yang menjadi salah satu faktor utama diterimanya Islam dengan mudah oleh masyarakat. 


Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, umat Islam memiliki kewajiban untuk meneruskan dakwah beliau. Setiap individu muslim memikul tanggung jawab moral yang sama untuk menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin. Dalam sejarah Islam, Kota Madinah menjadi contoh nyata terbentuknya masyarakat Islam atau masyarakat madani masyarakat yang beradab, teratur, dan hidup dalam suasana damai. Untuk menjaga keragaman dalam kehidupan bersama, diperlukan komitmen bersama dalam menjunjung tinggi etika kehidupan. Philip K. Hitti mencatat bahwa bangsa Arab memiliki fondasi budaya yang kuat, yang juga membentuk etika kehidupan mereka. Al-Quran pun menyinggung hal ini, termasuk dalam hal pola komunikasi yang baik. Rasulullah saw duduk langit sebagai al-insan al-kamil (manusia sempurna) karena beliau menjadi teladan manusia untuk selama-lamanya bagi manusia, baik dalam sisi fisik, gaya berpakaian, bernyatanya, hingga berinteraksi di tengah masyarakat. Beliau adalah contoh idaman dalam aspek sosial, agama, maupun kebudayaan yang terkenal dengan sebutan sunnah nabawiyah. Keagungan Nabi dibenarkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 21, allah berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS. Al-Ahzab : 21). Allah SWT menetapkan bahwa semua perkataan dan perbuatan Nabi adalah teladan terbaik bagi manusia umumnya, khususnya bagi mereka yang beriman dan berharap rahmat-Nya. Di zaman Madinah, Nabi Muhammad sanggup untuk memfokuskan dirinya pada pembangunan dan pembinaan sistem masyarakat sosial secara total. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang patuh terhadap ajaran agama serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan peraturan itulah yang disebut sebagai masyarakat madani. Ahmad Baso, juga menegaskan bahwa masyarakat madani merupakan wujud kepatuhan terhadap nilai-nilai luhur, sementara Khalil al-Qaththan menjelaskan bahwa peradaban mencakup segala hal yang telah terwujud dengan baik dalam aspek pemikiran, perilaku, materi, spiritual, dan keakeagaman. Konsep ini menegaskan bahwa komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampaian pesan, melainkan sebagai sarana memanusiakan manusia sesuai nilai-nilai ilahi.


Humanisasi dalam komunikasi profetik menekankan pentingnya mengembalikan martabatmanusia sebagai makhluk berpikir, berperasaan, dan berakhlak. Sayangnya, banyak praktik komunikasi modern yang justru menonjolkan eksploitasi emosional dan provokasi demi kepentingan personal maupun algoritmik. Dalam budaya digital, empati sering kali terkalahkan oleh ambisi untuk menjadi viral. Padahal, komunikasi yang sejati seharusnya membangun kesadaran dan kasih sayang, bukan menambah luka sosial. Hal ini sejalan dengan nilai amar maruf yang berupaya mengajak manusia pada kebaikan bersama. 


Rasulullah SAW adalah contoh utama dalam menerapkan prinsip komunikasi yang humanis.Beliau dikenal sebagai sosok yang lemah lembut dalam bertutur dan menghargai setiap lawan bicara. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka... (QS. Ali Imran: 159). Ayat ini menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi tidak ditentukan oleh kecerdasansemata, melainkan oleh keikhlasan hati dan sikap empatik terhadap sesama. Dalam konteks kehidupan sosial saat ini, prinsip humanisasi dapat diterapkan di berbagai bidang, termasuk dakwah, pendidikan, dan media. Dakwah profetik yang humanis tidak hanya menekankan aspek penyampaian dalil, tetapi juga memahami kondisi psikologis audiensnya. Di dunia pendidikan, pendekatan komunikasi yang memanusiakan siswa dapat menumbuhkan ruang belajar yang lebih sehat dan dialogis. Sementara di media sosial, penyebaran konten dengan narasi damai dan empatik merupakan bentuk dakwah modern yang mewujudkan nilai amar maruf nahi munkar.


Lebih jauh, komunikasi profetik juga menumbuhkan keberanian untuk mendengarkan. Dalammasyarakat yang dipenuhi dengan hiruk pikuk opini dan perdebatan, kemampuan untuk mendengar merupakan wujud kasih sayang yang nyata. Mendengarkan bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk memahami dan menemukan titik temu. Nilai ini perlu dihidupkan kembali agar komunikasi publik, termasuk di ruang digital, dapat menjadi sarana mempererat, bukan memecah belah. Dengan begitu, komunikasi profetik hadir sebagai penyejuk di tengah panasnya perbedaan pandangan dan kepentingan sosial.


Pada akhirnya, komunikasi profetik mengajarkan bahwa berbicara bukan sekadarmenyampaikan kata, tetapi menghadirkan nilai-nilai ketuhanan melalui tutur dan perilaku. Humanisasi menjadi inti dari setiap interaksi sosial, dari keluarga hingga dunia digital. Ketika empati tergantikan oleh ego dan kata-kata menjadi alat untuk menyakiti, maka sudah saatnya manusia kembali pada spirit kenabian: berkomunikasi dengan hati yang tulus. Melalui komunikasi yang profetik, setiap pesan bukan hanya didengar, tetapi juga menghidupkan semangat kemanusiaan yang sejati.


Komunikasi profetik menuntun kita untuk tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga bijak dalam memahami manusia lain. Humanisasi adalah inti dari semua interaksi sosial dari keluarga, pendidikan, hingga ruang digital. Ketika empati digantikan oleh ego, dan kata-kata berubah menjadi senjata, maka saatnya kita kembali kepada spirit kenabian: berkomunikasi dengan hati, bukan hanya logika. Dengan begitu, komunikasi menjadi jalan dakwah yang menyejukkan dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena pada akhirnya, tugas manusia bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi menghadirkan kasih Tuhan lewat tutur dan perilaku.


DAFTAR PUSTAKA

QS. Al-Ahzab (33):21

QS. Ali-Imran (3): 159

Hasanah, N. (2021). Komunikasi empatik sebagai bentuk humanisasi dalam media sosial. Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 6(2), 89102.

Hidayat, A. (2020). Etika komunikasi dalam perspektif Islam profetik. Jurnal Komunikasi Islam, 8(2), 115128.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Ridho, A. R. (n.d.). Peran komunikasi profetik dalam pembentukan etika publik masyarakat madani perspektif Al-Quran. UIN Mataram.



Oleh: Zalma Athanasywa

No comments:

Post a Comment