Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Etika Tanggung Jawab Digital Aktualisasi Nilai Transendensi dan Keadilan dalam Komunikasi Profetik

Warta Journalizm - Di tengah transformasi komunikasi global yang digerakkan oleh teknologi digital, media sosial telah menjelma menjadi ruang publik yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini, perilaku, dan bahkan moral masyarakat. Setiap individu kini memiliki “panggung” sendiri untuk berbicara, berdebat, dan menyebarkan gagasan. Namun di balik kebebasan ini, muncul tantangan serius: penyalahgunaan ruang digital yang berujung pada pelanggaran privasi, ujaran kebencian, hingga perundungan daring (cyberbullying). Fenomena ini mengindikasikan bahwa kebebasan digital tanpa diiringi etika profetik hanya akan melahirkan kekacauan sosial dan moral.


Dalam konteks ini, tanggung jawab digital menjadi pilar penting dari komunikasi profetik, yakni komunikasi yang berakar pada nilai-nilai kenabian: humanisasi (amar ma‘rūf), liberasi (nahy al-munkar), dan transendensi (tu’minūna billāh). Bila tabayyun menekankan kehati-hatian dalam menerima informasi, maka tanggung jawab digital menekankan kesadaran moral dalam menggunakan, membagikan, dan memengaruhi melalui media sosial. Nilai ini menjadi aktualisasi dari transendensi (kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah) dan keadilan (tanggung jawab terhadap sesama manusia).


Nilai transendensi dalam komunikasi profetik menegaskan bahwa aktivitas komunikasi bukanlah ruang yang bebas nilai, tetapi selalu berada dalam pengawasan Tuhan. Setiap kata, komentar, atau unggahan mencerminkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Karena itu, dalam etika profetik, bermedia sosial tidak bisa dilepaskan dari kesadaran spiritual: bahwa setiap tindakan digital akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya secara sosial, tetapi juga secara moral di hadapan Allah SWT.


Allah SWT berfirman dalam QS. Qaf: 18:

اِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيٰنِ عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَا لِ قَعِيْدٌ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”


Ayat ini menegaskan prinsip pengawasan ilahi dalam setiap tindakan komunikasi manusia, termasuk di dunia maya. Transendensi mengajarkan bahwa media sosial bukan sekadar ruang hiburan, melainkan medan ujian moral. Seseorang yang memiliki kesadaran transendental tidak akan menggunakan platform digital untuk menyebar kebencian atau fitnah, karena ia menyadari konsekuensi spiritual dari setiap jejak digital yang ia tinggalkan.


Prinsip transendensi juga mendorong pengguna media untuk memaknai komunikasi sebagai ibadah sosial. Menyebarkan kebaikan, menenangkan suasana publik, atau memberikan edukasi yang bermanfaat menjadi bentuk dakwah digital yang berpahala. Sebaliknya, menyebar hoaks atau menyinggung kehormatan orang lain adalah bentuk pelanggaran moral yang berakibat dosa. Kesadaran inilah yang menjadi fondasi tanggung jawab digital dalam bingkai komunikasi profetik.


Selain transendensi, tanggung jawab digital juga merupakan wujud dari nilai keadilan profetik. Dalam komunikasi modern, keadilan berarti memperlakukan informasi, sumber, dan audiens secara adil tidak memanipulasi fakta demi keuntungan pribadi, kelompok, atau ideologi tertentu. Pengguna media yang adil akan berusaha menyampaikan kebenaran apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau menyesatkan publik.


Keadilan informasi sangat penting di era digital yang sarat dengan “ekonomi perhatian” (attention economy), di mana kebenaran sering dikorbankan demi klik, like, atau viralitas. Dalam konteks ini, komunikasi profetik hadir untuk menegakkan kembali keadilan dengan menjadikan kebenaran sebagai orientasi utama, bukan popularitas. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini mengandung pesan moral yang sangat relevan: bahwa komunikasi yang tidak didasari kebaikan dan kebenaran lebih baik ditahan. Prinsip ini harus diterapkan dalam setiap aktivitas digital menulis komentar, membuat konten, atau membagikan berita. Keadilan digital berarti berbicara proporsional, menghormati privasi, dan menghindari eksploitasi data atau citra seseorang demi kepentingan pribadi.


Etika tanggung jawab digital menuntut hadirnya akuntabilitas moral dalam setiap interaksi daring. Artinya, setiap pengguna harus memiliki kesadaran bahwa media sosial bukan ruang anonim tanpa konsekuensi. Komentar yang merendahkan, unggahan yang menyesatkan, atau penyebaran privasi orang lain tanpa izin adalah bentuk pelanggaran etika profetik. Akuntabilitas moral menjadi cermin kedewasaan spiritual pengguna media.


Dalam praktiknya, tanggung jawab digital dapat diwujudkan melalui beberapa langkah konkret:

1. Menyadari jejak digital: setiap unggahan akan meninggalkan rekam jejak yang bisa memengaruhi reputasi diri dan orang lain.

2. Menghormati hak digital orang lain: tidak mengambil, mengedit, atau menyebarkan konten tanpa izin.

3. Menghindari ujaran kebencian dan provokasi: menggunakan bahasa yang santun dan menenangkan suasana publik.

4. Berpartisipasi aktif dalam literasi digital: mengedukasi masyarakat agar mampu membedakan informasi benar dan salah.

5. Menggunakan platform digital sebagai sarana dakwah dan kemaslahatan sosial.


Tanggung jawab digital bukanlah sekadar aturan sosial, melainkan bentuk ibadah moral yang memadukan akal, etika, dan iman. Ketika seseorang menulis dengan niat untuk menyebarkan kebaikan, ia sejatinya sedang menjalankan misi kenabian dalam konteks modern.


Budaya digital hari ini sering kali lebih menekankan popularitas ketimbang kebenaran. Orang berlomba-lomba untuk viral tanpa mempertimbangkan dampak moral dan sosial dari konten yang dibuat. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat modern membutuhkan paradigma komunikasi baru yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga berakar pada nilai spiritual. Di sinilah pentingnya komunikasi profetik sebagai paradigma etis untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab moral.


Komunikasi profetik mengajarkan bahwa setiap bentuk komunikasi baik lisan maupun digital harus berorientasi pada kemaslahatan umat. Viralitas bukanlah ukuran keberhasilan, melainkan kebermanfaatan. Maka, tanggung jawab digital berarti menjadikan media sosial sebagai sarana untuk membangun peradaban, bukan menghancurkannya.


Pengguna media yang profetik akan bertanya sebelum menulis:

“Apakah konten ini membawa manfaat atau mudarat? Apakah ia mendekatkan kepada kebenaran atau menambah kebencian?”

Kesadaran reflektif semacam ini merupakan wujud nyata dari ihsan dalam komunikasi berbuat baik karena merasa selalu diawasi Allah. Inilah bentuk tertinggi dari tanggung jawab digital yang berlandaskan transendensi.


Etika tanggung jawab digital dalam bingkai komunikasi profetik adalah panggilan moral bagi generasi modern yang hidup di tengah derasnya arus informasi. Di era ketika setiap orang bisa menjadi “komunikator publik”, nilai profetik menjadi pagar agar kebebasan tidak berubah menjadi kebiadaban.


Nilai transendensi menuntun manusia untuk selalu sadar akan pengawasan Ilahi dalam setiap aktivitas daring. Nilai keadilan menegaskan pentingnya bersikap objektif dan proporsional dalam menyampaikan informasi. Keduanya menjadi fondasi bagi terwujudnya ruang digital yang beradab, berimbang, dan bermartabat.


Pada akhirnya, tanggung jawab digital bukan sekadar kewajiban etis, tetapi juga panggilan spiritual. Ia mengingatkan bahwa jari yang mengetik di layar gawai pun kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan menjadikan komunikasi profetik sebagai pedoman bermedia sosial, umat Islam dapat membangun ekosistem digital yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga beradab secara moral.


Dengan demikian, tanggung jawab digital bukan sekadar perilaku etis, melainkan bentuk ibadah profetik jalan menuju peradaban digital yang berkeadilan dan berketuhanan.



DAFTAR PUSTAKA

Rozanatush Shodiqoh. 2024. Etika Digital: Perspektif Etika Media Sosial dalam Islam Kontemporer. SICOPUS Journal of Islamic Studies, 2(1): 25–39.

Kamaruddin Hasan, Abdullah, dan Ahyar Al-Aziziyah. 2024. Etika Komunikasi Islam: Konsep dan Aplikasinya di Era Digital. Jurnal Al-Fikrah, 8(1): 45–61.

Aulia Tasha Z. M., Nur Rahmad, dan Dina Sari. 2025. Etika Penggunaan Media Sosial Berdasarkan Nilai-Nilai Keagamaan bagi Mahasiswa sebagai Upaya Melahirkan Kesalehan Digital. Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat, 9(1): 32–48.

Daimah, Fikri Lu’lu’ul Mutala’liah, dan Nurul Huda. 2024. Etika Digital dalam Islam: Prototipe Qur’ani atas Penggunaan Media Sosial. Al-Iʾjaz: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Dakwah, 2(2): 89–104.

Muhamad Riza. 2024. Literasi Informasi sebagai Implementasi Konsep Tabayyun dalam Islam. Tik Ilmeu: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 8(1): 17–30.



Oleh: Nilla A'lil Jannah

No comments:

Post a Comment