Warta Journalizm - Di tengah derasnya arus informasi digital, media sosial telah menjadi ruang utama bagi masyarakat dalam berkomunikasi, berdiskusi, dan mengekspresikan pandangan. Namun, ruang ini juga sering kali diwarnai oleh penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan fitnah yang merusak keharmonisan sosial. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan kematangan moral penggunanya. Dalam konteks inilah, konsep komunikasi profetik menjadi sangat penting untuk dihidupkan kembali.
Komunikasi profetik berakar pada nilai-nilai kenabian yang mencerminkan integritas, tanggung jawab, dan keadilan dalam bertutur dan bertindak. Ia bukan sekadar tentang cara menyampaikan pesan, tetapi tentang bagaimana pesan itu membawa nilai kemanusiaan dan kebenaran. Salah satu wujud nyata dari komunikasi profetik adalah tabayyun kehati-hatian dalam menerima, memverifikasi, dan menyebarkan informasi. Nilai ini mengajarkan agar setiap individu tidak tergesa-gesa dalam bereaksi, apalagi menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya. Prinsip ini sejalan dengan perintah Allah.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 6 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan yang membuat kamu menyesali perbuatanmu.”
Ayat ini menjadi dasar moral bagi umat Islam agar berhati-hati sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi. Melakukan tabayyun berarti menjaga nilai kemanusiaan melindungi diri dan orang lain dari fitnah, kesalahpahaman, dan kerusakan sosial.Di era digital yang serba cepat, budaya tabayyun menjadi bentuk aktualisasi nilai humanisasi dan liberasi. Humanisasi karena menjaga martabat manusia dari fitnah dan salah paham; liberasi karena membebaskan masyarakat dari belenggu kebohongan dan manipulasi informasi.
1. Tabayyun sebagai Manifestasi Nilai Humanisasi
Nilai humanisasi (amar ma‘rūf) dalam komunikasi profetik menekankan pentingnya menjaga martabat manusia melalui komunikasi yang hati-hati, santun, dan bertanggung jawab. Di era digital, hal ini diwujudkan dengan sikap tabayyun memeriksa dan memastikan kebenaran informasi sebelum dibagikan. Tabayyun melatih empati digital agar tidak merugikan orang lain serta membantu menciptakan ruang komunikasi yang sehat dan berkeadilan.
2. Liberasi Dari Informasi Menyesatkan Aspek Humanisasi
Selain itu, komunikasi profetik juga mengandung nilai liberasi (nahy al-munkar), yaitu pembebasan manusia dari penindasan informasi dan manipulasi opini. Dalam arus digital yang sarat hoaks dan framing, tabayyun menjadi mekanisme pembebasan yang menumbuhkan sikap kritis, menegaskan kedaulatan berpikir, dan menjaga masyarakat dari “penindasan digital.” Lebih jauh, nilai liberasi juga menuntut keberanian moral untuk melawan arus viral demi menegakkan keadilan. Tabayyun bukan sekadar tindakan teknis memeriksa berita, tetapi juga wujud spiritualitas profetik yang memadukan akal, hati, dan iman dalam menjaga kebenaran serta keharmonisan sosial. Komunikasi profetik sebagai etika bermedia.
3. Komunikasi Profetik sebagai Etika Bermedia
Etika bermedia dalam perspektif profetik menempatkan aktivitas komunikasi bukan sekadar interaksi sosial, melainkan bagian dari ibadah sosial (‘ibādah ijtimā‘iyyah). Artinya, setiap kata, unggahan, dan komentar yang kita sampaikan mencerminkan tingkat keimanan dan akhlak seseorang. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
”Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menunjukkan bahwa salah satu tanda kedewasaan moral adalah kemampuan menjaga lisan dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Dalam konteks modern, “lisan” itu bisa bermakna luas bukan hanya ucapan verbal, tetapi juga ketikan dan jempol di layar ponsel. Maka, setiap aktivitas digital seperti mengunggah, berkomentar, atau membagikan informasi juga harus tunduk pada nilai-nilai etika profetik.
4. Transendensi Bermedia sebagai Ibadah
Nilai terakhir dari komunikasi profetik adalah transendensi (tu’minūna billāh), yaitu mengaitkan seluruh aktivitas komunikasi dengan kesadaran ketuhanan. Dalam pandangan profetik, berbicara, menulis, atau mengunggah sesuatu di media sosial bukanlah aktivitas duniawi semata, melainkan bagian dari pertanggungjawaban spiritual kepada Allah SWT. Seorang Muslim yang beriman akan menimbang setiap kata yang dia sampaikan bukan hanya dari sisi manfaatnya, tetapi juga dari niat dan dampaknya terhadap sesama.
Allah SWT berfirman dalam QS. Qaf [50]:18:
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu kata pun yang diucapkan melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.”
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada komunikasi yang netral di hadapan Allah. Setiap komentar, unggahan, atau bahkan “like” di media sosial mencerminkan nilai iman seseorang dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Maka, kesadaran transendensi mengajarkan bahwa bermedia tidak bisa dilepaskan dari dimensi ibadah. Aktivitas digital yang dilakukan dengan niat baik, kejujuran, dan tanggung jawab akan bernilai pahala, sementara yang dilakukan dengan kebencian, fitnah, dan kesombongan dapat menjadi dosa. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
”Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menegaskan pentingnya kesadaran iman dan tanggung jawab moral dalam setiap aktivitas digital. Di era media sosial, menjaga lisan berarti juga menjaga jari dan pikiran agar tidak menuliskan hal yang menyakiti atau menimbulkan keburukan bagi orang lain. Setiap unggahan, komentar, dan interaksi mencerminkan kualitas keimanan serta akhlak seseorang. Melalui nilai transendensi, media sosial dipandang bukan sekadar ruang interaksi, tetapi juga ruang dakwah tempat kebaikan dapat menjadi amal ibadah. Sebaliknya, menyebarkan fitnah, kebohongan, atau ujaran kebencian sama dengan mencederai nilai luhur komunikasi Islam yang diajarkan Rasulullah SAW.
Di era digital, tabayyun menjadi kunci menjaga martabat dan integritas komunikasi umat Islam. Nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi menuntun individu untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penjaga kebenaran, keadilan, dan moralitas. Etika tabayyun merupakan strategi spiritual dan sosial yang membangun ruang digital yang beradab dan harmonis. Dengan menerapkan tabayyun secara konsisten, media sosial dapat bertransformasi menjadi ruang dakwah yang menebarkan kedamaian, ilmu, serta nilai kebenaran, keadilan, dan kasih, sekaligus mencegah fitnah, kebohongan, dan konflik sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S., & Sassi, K. (2025). Implementasi Prinsip Tabayyun Dalam Menangkal Hoaks Dan Disinformasi (Analisis Al-Hujurat Ayat 6 Sebagai Framework Literasi Digital Berbasis Al-Qur’an. Jurnal Pendidikan Integratif, 6(3).
Muhlis, M., & Musliadi, M. (2022). Komunikasi Profetik di Media Sosial. RETORIKA: Jurnal Kajian Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 4(2), 82-92.
Ramadhani, N. R., & Rustina, R. (2025). Islam sebagai Pilar Etika Sosial: Telaah Normatif dan Empiris di Era Digital. Prosiding Kajian Islam dan Integrasi Ilmu di Era Society (KIIIES) 5.0, 4(1), 583-587.
Sakdiah, H., Rahmah, M. N., & Adawiah, R. (2025). Prophetic Communication in Digital Preaching: Building a Critical and Wise Society in Using Social Media/Komunikasi Profetik dalam Dakwah Digital: Membangun Masyarakat yang Kritis dan Bijak dalam Bermedia Sosial. Al-Hiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, 13(1), 13-24.
Oleh: Fitria Husnul Khotimah

No comments:
Post a Comment