Pendahuluan
Saat ini, dakwah tidak lagi terbatas pada mimbar masjid atau forum majelis taklim. Media sosial telah menjadi wadah baru bagi para dai, aktivis, dan intelektual Muslim untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat luas. Meski akses informasi semakin mudah, tantangan baru pun muncul, seperti melimpahnya konten keagamaan yang belum diverifikasi, konflik antar kelompok, hingga eksploitasi agama demi kepentingan popularitas di dunia digital.
Fenomena ini menegaskan bahwa dakwah digital tidak cukup hanya memperhatikan isi pesan, tetapi juga cara penyampaiannya. Di sinilah relevansi pendekatan Komunikasi Profetik, yaitu model komunikasi yang bersumber dari nilai-nilai kenabian dan menekankan aspek kemanusiaan (amar ma’ruf), pembebasan dari kemungkaran (nahy al-munkar), serta penguatan spiritualitas (tu’minūna billāh).
Konsep ini, sebagaimana dirumuskan oleh Kuntowijoyo dalam gagasan Ilmu Sosial Profetik (ISP), menitikberatkan pada sinergi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan untuk menciptakan transformasi sosial yang berlandaskan etika dan keadilan.
1. Humanisasi (Amar Ma’ruf): Menyapa Umat dengan Kelembutan
Humanisasi dalam konteks komunikasi profetik mengandung makna memperlakukan manusia secara manusiawi. Dakwah yang berlangsung di ranah digital idealnya menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa empati, bukan memperuncing perbedaan atau konflik. Nabi Muhammad dikenal sebagai sosok komunikator yang luar biasa, yang menyampaikan ajaran dengan kelembutan dan kasih sayang, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 159).
2. Liberasi (Nahy al-Munkar): Melawan Disinformasi dan Algoritma
Liberasi berarti upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, ketidakadilan, dan manipulasi. Dalam era digital, kebebasan ini juga mencakup perlindungan dari informasi yang menyesatkan serta dari penggunaan algoritma yang dapat mengarahkan opini publik secara tidak sehat.
Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian yang dimuat dalam Jurnal Tabayyun, algoritma media sosial cenderung memperkuat polarisasi dengan menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, bukan berdasarkan kebenaran atau objektivitas.
Akibatnya, banyak individu terjebak dalam ruang gema informasi (echo chamber) yang membatasi cara pandang dan memperkuat sikap fanatik. Dalam konteks dakwah profetik di era digital, dibutuhkan kesadaran baru bahwa menyampaikan pesan keagamaan bukan sekadar menyebarluaskan isi dakwah, tetapi juga berperan aktif dalam menghadapi sistem informasi yang dapat menyesatkan nalar publik. Oleh karena itu, para dai dan kreator konten Muslim perlu memahami mekanisme algoritma media sosial agar tidak terperangkap dalam pola konten sensasional atau viral yang justru mengaburkan esensi dakwah itu sendiri.
3. Transendensi (Tu’minūna Billāh): Menghadirkan Nilai Ketuhanan dalam Media
Aspek transendensi dalam komunikasi profetik merujuk pada penempatan Tuhan sebagai pusat dari segala aktivitas komunikasi. Dalam era banjir informasi seperti sekarang, banyak pengguna media sosial yang lalai bahwa setiap konten yang dibagikan mengandung dimensi etis dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Nilai transendensi mendorong para pengguna media untuk beraktivitas secara digital dengan niat yang tulus bukan demi popularitas atau sensasi, melainkan untuk menyebarkan nilai-nilai kebijaksanaan. Dengan kesadaran spiritual ini, ruang digital dapat berfungsi sebagai medan dakwah yang bermartabat, di mana sesama umat saling menasihati dalam kebaikan, bukan saling merendahkan.
4. Tabayyun sebagai Etika Komunikasi Profetik
Salah satu nilai utama dalam komunikasi profetik di era digital adalah prinsip tabayyun, yakni memastikan kebenaran informasi sebelum membagikannya kepada orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menegaskan pentingnya sikap kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan berita, agar tidak menimbulkan kesalahan atau kerugian yang tidak perlu.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”(QS. al-Ḥujurāt [49]: 6).
Etika tabayyun merupakan fondasi utama dalam menjalankan aktivitas di media digital secara bertanggung jawab. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sulis Nuriyawati (2023) melalui Jurnal Manifestasi Tabayyun di Era Digitalisasi, dijelaskan bahwa tabayyun perlu dimaknai sebagai kebiasaan berpikir secara kritis dan santun dalam menyikapi setiap informasi yang diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Ananda, R. (2022). Dakwah Digital dalam Penyebaran Nilai-Nilai Islam di Era Digital. Tabayyun: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 5(1), 45–60. https://ejournal-stidkibogor.ac.id/index.php/tabayyun/article/view/68
Kuntowijoyo. (2001). Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (2006). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan.
Nuriyawati, S. (2023). Manifestasi Tabayyun di Era Digitalisasi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. https://digilib.uinsa.ac.id/65075/2/Sulis%20Nuriyawati_E05219039.pdf
Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You. Penguin Press.
Qur’an, Surah Āli ‘Imrān [3]: 159; Surah al-Ḥujurāt [49]: 6.
Oleh: Shelomitha Azzahra

No comments:
Post a Comment