Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Etika Jari dan Tanggung Jawab Hati: Mengamalkan Komunikasi Profetik di Era Digital

Warta Journalizm - Kita hidup di era yang disebut "masyarakat informasi," zaman di mana setiap orang berperan sebagai jurnalis, pengedit, dan penyebar berita. Namun, di balik kenyamanan akses dan kecepatan dalam berbagi informasi, ada bahaya yang nyata yaitu kebisingan digital. Media sosial, yang seharusnya menjadi tempat publik yang memberdayakan, sering kali berubah menjadi lokasi untuk fitnah, hoaks, ujaran kebencian, dan cerita yang mendorong perpecahan. 


Dalam sekejap, berita yang tidak terverifikasi dapat menyebar melintasi negara, merusak nama baik seseorang, menciptakan konflik sosial, hingga meruntuhkan hubungan persaudaraan. Masalah ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang etika dan tanggung jawab manusia. Di sini, kita membutuhkan pedoman moral yang kuat, dan ajaran Islam memberikan struktur yang solid melalui konsep komunikasi profetik yang diperkenalkan oleh kuntowijoyo yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi.


 Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana cara menerapkan warisan kenabian ini, terutama pilar humanisasi dan liberasi, di era di mana orang dengan mudah menekan tombol berbagi. Kunci moral untuk menghadapi masalah digital ini adalah etika verifikasi atau yang dikenal dengan tabayyun, serta rasa tanggung jawab dalam bermedia yang harus dimiliki oleh setiap orang


 Komunikasi profetik merupakan cara berkomunikasi yang kaya akan nilai dan norma, dengan fokus untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab. Tiga dasar utamanya Adalah: 

1. Humanisasi (Amar Ma’rūf): Upaya memanusiakan manusia, meningkatkan kebaikan, dan menjaga martabat kemanusiaan.

2. Liberasi (Nahy al-Munkar): Upaya membebaskan manusia dari sistem ketidakadilan, kebodohan, dan ikatan struktural, termasuk hegemoni informasi yang palsu.

3. Transendensi (Tu’minūna billāh): Orientasi spiritual yang menjadikan nilai-nilai ketuhanan sebagai dasar moral dan tujuan akhir.

Dalam konteks media sosial, mengamalkan tabayyun bukan hanya sekadar anjuran, tetapi merupakan wujud nyata dari tiga prinsip ini.

1. Tabayyun dan Humanisasi menjaga martabat lewat validitas


 Humanisasi mengharuskan kita untuk memperlakukan sesama manusia sebagai individu yang bermartabat. Di dunia digital, martabat seseorang sering kali diinjak-injak hanya karena sebuah unggahan tanpa dasar. Menyebarkan hoax, ghibah, atau informasi palsu (yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai fusuq) tentang seseorang adalah tindakan yang paling anti-humanis. Ia melukai, memfitnah, dan merusak hubungan.


Perintah untuk melakukan tabayyun secara jelas dinyatakan dalam Al-Qur'an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ۝٦

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.


Ayat ini memberikan pedoman penting untuk komunikasi profetik di era digital. Inti dari tabayyun adalah meningkatkan kewaspadaan untuk melindungi hak dan kehormatan orang lain. Saat kita melakukan tabayyun, mengkritisi, memverifikasi, dan mencari kebenaran, kita sedang menjalankan humanisasi dalam bentuk digital. Kita menghormati pihak yang diberitakan, mencegah diri dari menyakiti mereka, dan memastikan bahwa interaksi kita didasarkan pada kebenaran, bukan kebohongan. Tanpa tabayyun, car akita berkomunikasi akan menjadi tidak teratur dan dehumanisasi. 


2. Tabayyun dan Liberasi untuk membebaskan dari belenggu kebodohan

 Liberasi adalah usaha untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan dan belenggu, termasuk belenggu pikiran yang salah akibat informasi yang salah. Hoax dan disinformasi adalah cara penindasan mental. Ketika kita menelan mentah-mentah berita palsu dan menyebarkannya, kita bukan hanya ditipu, tetapi kita juga turut serta dalam membelenggu orang lain dalam kebodohan yang sama. Tabayyun berfungsi sebagai alat liberasi karena ia adalah proses kritis dan rasional terhadap informasi. Ini membebaskan akal kita dari dominasi narasi sempit dan bias.


Dalam konteks Komunikasi Profetik, Liberasi berarti:

• Memerangi Kebohongan (Nahy al-Munkar Digital) yaitu kita memiliki tanggung jawab moral untuk menghentikan penyebaran informasi yang merugikan, seperti berita palsu tentang politik, isu SARA, atau konten yang merusak moral (munkar). Berhenti menyebarkan adalah bentuk Liberasi pertama.

• Membangun literasi yang kritis yaitu mendorong sesama pengguna media untuk tidak mudah percaya, tetapi selalu mencari sumber asli, membandingkan data, dan menuntut bukti. Ini adalah bentuk upaya untuk membebaskan masyarakat dari kekuasaan algoritma dan buzzer yang seringkali menutupi kebenaran.

3. Tanggung jawab bermedia sebagai wujud transendensi. 


Pilar transendensi (tu’minūna billāh) mengingatkan kita bahwa setiap tindakan, termasuk aktivitas jemari di dunia maya, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Ini adalah pilar yang mendasari nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Konsep tanggung jawab saat bermedia muncul dari kesadaran transendensi ini. Kita tidak berkomunikasi hanya untuk mendapatkan like atau popularitas, tetapi karena kita sadar ada Raqīb dan Atīd (malaikat pencatat amal) yang mengawasi setiap ketikan yang kita tulis.


Seorang muslim mengikuti prinsip komunikasi profetik di era digital akan selalu bertanya pada dirinya sebelum mengunggah:

1. Apakah ini Humanis? (Apakah ini bermanfaat dan tidak merendahkan martabat sorang lain?)

2. Apakah ini Membebaskan? (Apakah ini menyampaikan kebenaran, atau justru menyebarkan ketidakadilan/kebohongan?)

3. Apakah ini Transenden? (Apakah niat dan kontennya diridai Allah dan membawa kemaslahatan?)


Kesadaran ini mengubah cara kita bersikap di dunia digital yang dari sekadar pengguna media menjadi subjek komunikasi yang bertanggung jawab dan berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Dengan demikian, media sosial yang penuh dengan hoax dan konflik bukanlah alasan untuk berpangku tangan, tetapi menjadikan tempat dakwah baru untuk mengamalkan amar ma'rūf dan nahy al-munkar.


Di tengah banyaknya informasi, komunikasi profetik dengan menerapkan etika tabayyun dan tanggung jawab dalam bermedia berfungsi sebagai "vaksin digital" yang melindungi kita dan masyarakat dari masalah sosial seperti fitnah dan perpecahan.


Menerapkan humanisasi, liberasi, dan transendensi dalam komunikasi digital adalah sebuah jihad modern. Mari kita pastikan bahwa setiap kata yang kita ketik dan setiap unggahan yang kita bagikan adalah cerminan dari akhlak kenabian. Jadikan media sosial sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran dan melawan yang salah, semua itu berlandaskan niat tulus untuk beribadah kepada Allah.


Tanggung jawab komunikasi bukan hanya tugas ulama atau jurnalis, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai individu yang beriman. Mulai hari ini, mari kita ubah etika jari kita, karena di situlah terlihat tanggung jawab dari hati kita.


Referensi 

Halimatus, S., dkk. (2025). “Komunikasi Profetik dalam Dakwah Digital: Membangun Masyarakat yang Kritis dan Bijak dalam Bermedia Sosial”. Alhiwar: Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, Vol.13, No.1

Leni, M., dkk. (2025). “Relevansi Hadits Tentang Pendidikan Karakter dalam Menghadapi Era Disrupsi Teknologi: Studi Tematik Hadits Tentang Akhlak”. Jurnal Ilmiah Nusantara (JINU), Vol.2, No.5

Ulil, F., (2022). “Tabayyyun Dan Hukumnya Sebagai Penanggulangan Berita Hoax Di Era Digital Dalam Perspektif Fiqih”. Jurnal Alyasini, Vol.5, No.1 



Oleh: Miqyas Ainur Rohmah

No comments:

Post a Comment