Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Tantangan Jurnalis dalam Menegakkan Hukum dan Etika di Era Digital

Tantangan Jurnalis dalam Menegakkan Hukum dan Etika di Era Digital


Warta Journalizm - Di zaman sekarang, di mana informasi bisa tersebar hanya dalam hitungan detik, peran jurnalis sangat penting. Mereka bukan cuma menyampaikan berita, tapi juga menjaga demokrasi dan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar. Tapi, pekerjaan jurnalis nggak semudah kelihatannya. Di balik tugasnya yang mulia, banyak jurnalis justru harus berhadapan dengan berbagai tantangan baik dari sisi hukum maupun etika.

Secara hukum, memang sudah ada undang-undang yang melindungi mereka, seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Pers. Tapi kenyataannya, banyak jurnalis masih bekerja tanpa kontrak, digaji di bawah standar, bahkan rawan dipecat tanpa alasan jelas. Belum lagi tantangan dalam menjaga etika jurnalistik, seperti harus tetap profesional, jujur, dan tidak memihak di tengah tekanan dari berbagai pihak. Jadi, bisa dibilang, menegakkan hukum dan etika bagi jurnalis bukan perkara mudah, apalagi di era digital yang serba cepat ini.


Meskipun undang-undang sudah ada, banyak jurnalis di lapangan belum merasakan perlindungan yang semestinya. Gaji yang nggak sesuai, kerja tanpa kontrak, atau tidak mendapatkan jaminan kesehatan masih jadi keluhan umum. Apalagi bagi jurnalis freelance, posisi mereka makin lemah karena hampir tidak punya perlindungan hukum yang jelas.

Belum lagi soal intimidasi atau ancaman saat meliput isu-isu sensitif. Ada yang dikriminalisasi karena tulisannya, ada juga yang mengalami kekerasan fisik dan digital. Banyak jurnalis akhirnya memilih diam atau menghindari topik-topik yang berisiko, karena takut diseret ke ranah hukum atau diserang balik.

Di sisi lain, tantangan etika juga tak kalah berat. Di era digital, media berlomba-lomba menjadi yang tercepat, bahkan terkadang mengabaikan akurasi. Akibatnya, berita yang belum terverifikasi bisa tersebar luas dan menyesatkan publik. Tekanan dari pemilik media atau sponsor juga bisa membuat jurnalis sulit bersikap netral.

Dalam kasus tertentu, seperti peliputan kekerasan seksual atau konflik, jurnalis dituntut ekstra hati-hati agar tidak melukai korban atau menyebarkan informasi yang sensitif. Tapi sayangnya, tidak semua jurnalis punya pelatihan atau panduan etika yang memadai. Ada juga yang tergoda menyajikan berita secara sensasional demi klik dan viralitas, meskipun itu melanggar etika.

Kalau hukum dan etika terus diabaikan, yang rugi bukan cuma jurnalis, tapi masyarakat luas juga. Kesejahteraan jurnalis akan menurun, kualitas berita memburuk, dan kepercayaan publik terhadap media bisa hilang. Ujung-ujungnya, fungsi media sebagai pilar demokrasi jadi lemah.

Untuk itu, semua pihak harus ikut andil. Pemerintah harus serius melindungi jurnalis, perusahaan media wajib memperlakukan pekerjanya dengan adil, dan organisasi jurnalis harus aktif memberikan edukasi soal etika. Yang nggak kalah penting, jurnalis juga perlu saling mendukung, misalnya dengan membentuk serikat agar punya kekuatan bersama dalam memperjuangkan hak.


Menjadi jurnalis di era digital memang penuh tantangan, terutama dalam menegakkan hukum dan etika. Meski sudah ada payung hukum dan kode etik yang jelas, kenyataannya masih banyak hambatan di lapangan. Mulai dari pelanggaran hak kerja, tekanan politik dan ekonomi, sampai dilema etika dalam menyajikan berita. Maka dari itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk memperkuat perlindungan hukum, menegakkan etika, dan menciptakan ekosistem media yang sehat. Dengan begitu, jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tetap memegang teguh nilai-nilai keadilan, integritas, dan tanggung jawab sosial.


Oleh: Muhammad Luqman Hakim dan Primi Rohimi, S. Sos. M. S. I. 

No comments:

Post a Comment