Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, media memegang peran penting dalam membentuk opini publik, menyebarkan berita, dan memengaruhi perilaku masyarakat. Namun, di balik gemerlap layar dan derasnya arus informasi, terdapat realitas getir yang jarang disorot: ketimpangan yang dialami oleh para buruh media itu sendiri. Mereka yang bekerja keras di balik layar justru sering menjadi korban dari ketidakadilan struktural yang mengakar dalam industri ini.
Salah satu bentuk ketimpangan paling nyata adalah dalam struktur kepemilikan media. Di Indonesia, sebagian besar media dikuasai oleh konglomerat besar yang tidak hanya memiliki kekuatan finansial, tetapi juga kedekatan dengan kekuasaan. Konsentrasi kepemilikan ini tidak hanya memengaruhi arah pemberitaan, tetapi juga berdampak langsung pada nasib para buruh media. Banyak jurnalis dan pekerja media yang harus tunduk pada kepentingan pemilik, kehilangan independensi dalam meliput, bahkan harus menerima kondisi kerja yang tidak layak demi mempertahankan pekerjaan mereka.
Representasi dalam pemberitaan pun sering kali tak berpihak pada para buruh, termasuk buruh media sendiri. Isu-isu kesejahteraan pekerja, kekerasan terhadap jurnalis, atau pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan seringkali luput dari sorotan atau tidak diberitakan secara adil. Ironisnya, media yang seharusnya menjadi corong keadilan sosial justru kerap abai terhadap persoalan internal yang menimpa pekerjanya. Ketika para buruh media bersuara, suara mereka sering ditenggelamkan oleh kepentingan politik atau ekonomi perusahaan.
Ketimpangan juga tampak dalam akses terhadap pelatihan, pengembangan diri, dan perlindungan hukum. Banyak jurnalis daerah atau kontributor lepas yang tidak memiliki akses terhadap pelatihan profesional, asuransi kerja, atau bahkan kontrak kerja yang layak. Mereka bekerja dalam tekanan, dengan risiko tinggi, tetapi minim perlindungan. Hal ini menciptakan jurang antara pekerja media di pusat dan daerah, antara yang tetap dan yang lepas, antara yang mendapat pengakuan dan yang tetap tak terlihat.
Tak kalah penting, bias dalam pemberitaan juga kerap mencerminkan keberpihakan struktur media terhadap kekuasaan dan pemodal, bukan terhadap para buruhnya sendiri. Ketika media memihak pada elit, suara kritis dari dalam redaksi bisa ditekan. Buruh media yang bersikap kritis, termasuk terhadap manajemen medianya sendiri, berisiko dikriminalisasi atau kehilangan pekerjaan. Ini menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers dan integritas profesi jurnalistik.
Sebagai kesimpulan, potret ketimpangan dalam dunia media tidak hanya terjadi pada konten yang disiarkan, tetapi juga pada kondisi kerja dan perlakuan terhadap buruh media. Untuk menciptakan industri media yang lebih adil dan inklusif, perlu ada pembenahan struktural dari hulu ke hilir. Pemerintah harus memastikan perlindungan hukum bagi pekerja media, pemilik media harus menjunjung etika dan kesejahteraan karyawan, dan masyarakat perlu mendukung media yang transparan dan adil. Tanpa itu semua, media hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan ruang perjuangan bagi keadilan.
Oleh: Ika Ulya Rachmawati dan Primi Rohimi, S. Sos. M. S. I.
No comments:
Post a Comment