Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Suara yang Terbungkam: Refleksi Hari Buruh bagi Pekerja Media

Suara yang Terbungkam: Refleksi Hari Buruh bagi Pekerja Media

Warta Journalizm - Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh, sebuah momentum untuk merayakan perjuangan dan menuntut hak-hak pekerja di berbagai sektor. Di tengah gemuruh tuntutan upah layak dan kondisi kerja yang manusiawi, seringkali terlupakan suara dari garda terdepan informasi: para buruh media. Mereka yang setiap hari berjibaku dengan tenggat waktu, tekanan narasumber, dan idealisme untuk menyampaikan kebenaran, juga memiliki cerita tentang regulasi, etika, dan tak jarang, pelanggaran hak-hak mereka.


Regulasi dan aturan bagi buruh media di Indonesia, meskipun ada, seringkali terasa kurang spesifik dan belum sepenuhnya mengakomodasi dinamika unik pekerjaan jurnalistik. Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi payung hukum, namun implementasinya di lapangan media memiliki tantangan tersendiri. Jam kerja yang fleksibel namun seringkali eksploitatif, status kerja yang tidak tetap, hingga minimnya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, menjadi isu laten yang dihadapi banyak jurnalis. Belum lagi, tekanan ekonomi industri media yang semakin kompetitif, tak jarang berimbas pada pemangkasan hak-hak pekerja dan munculnya praktik kerja yang tidak adil.


Di sisi lain, etika menjadi kompas moral bagi seorang jurnalis. Kode etik jurnalistik menjadi panduan dalam menjalankan profesi, menjaga independensi, dan keberimbangan berita. Namun, etika profesi ini juga bersinggungan dengan etika sebagai seorang pekerja. Bagaimana seorang jurnalis dapat menjalankan tugasnya dengan tegak lurus pada kode etik, jika hak-haknya sebagai pekerja tidak terpenuhi? Bagaimana independensi dapat dipertahankan jika tekanan ekonomi membuat mereka rentan terhadap intervensi pemilik modal atau kepentingan tertentu?


Sayangnya, catatan kasus terkait buruh media di Indonesia masih memprihatinkan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara rutin mendokumentasikan berbagai bentuk pelanggaran hak pekerja media, mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, upah yang tidak layak, hingga kekerasan dan intimidasi saat meliput. Ironisnya, tidak jarang pelaku kekerasan justru berasal dari pihak-pihak yang seharusnya menjamin kebebasan pers dan keamanan jurnalis. Kasus-kasus ini menjadi pengingat bahwa perjuangan buruh media tidak hanya seputar kesejahteraan ekonomi, tetapi juga tentang kebebasan dalam menjalankan profesi tanpa rasa takut.


Hari Buruh seharusnya menjadi momentum bagi kita semua untuk merefleksikan kondisi para pekerja media. Mereka adalah garda terdepan dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang kepada publik, sebuah fondasi penting bagi tegaknya demokrasi. Sudah saatnya regulasi yang lebih spesifik dan berpihak pada buruh media diwujudkan, penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak mereka diperkuat, dan etika profesi dijalankan seiring dengan pemenuhan hak-hak dasar sebagai pekerja.


Ketika suara buruh di sektor lain lantang diperdengarkan, jangan lupakan suara-suara yang seringkali terbungkam di balik mikrofon dan layar kaca. Kesejahteraan buruh media adalah investasi bagi kualitas informasi dan kesehatan demokrasi kita. Mari jadikan Hari Buruh ini sebagai pengingat untuk terus memperjuangkan hak-hak seluruh pekerja, termasuk mereka yang berjuang menyampaikan kebenaran kepada kita semua.


Oleh: Nafisah Ulya dan Primi Rohimi, S. Sos. M. S. I. 

No comments:

Post a Comment