Warta Journalizm - Secara hukum, seharusnya para buruh media dilindungi karena Mereka masuk dalam kategori pekerja yang berhak untuk mendapatkan upah yang layak, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, pekerjaan mereka juga diatur lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers dan tanggung jawab profesi jurnalis.
Namun, kenyataannya sering tidak sesuai aturan. Banyak pekerja media hanya dianggap “kontributor” atau “freelancer” tanpa kontrak resmi, tanpa BPJS, bahkan tanpa kejelasan soal gaji. Mereka bisa saja dipekerjakan setiap hari, tapi tetap tidak dianggap sebagai pegawai tetap. posisi ini membuat mereka sangat rentan, terutama ketika menghadapi masalah seperti pemotongan upah sepihak atau bahkan kekerasan saat meliput di lapangan. Kasus Nyatanya saat pandemi COVID-19, banyak media melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa memberikan pesangon yang layak. Bahkan ada kasus di mana jurnalis diberhentikan lewat pesan singkat tanpa ada surat resmi, padahal mereka telah bekerja bertahun-tahun.
uruh media bukan hanya sekadar penyambung lidah publik, tapi juga manusia yang punya hak untuk dihargai dan dilindungi. Jika kita ingin informasi yang jujur dan media yang sehat, maka kita juga harus memperjuangkan hak-hak mereka. Menegakkan hukum dan menjalankan etika dalam dunia media tidak cukup hanya berlaku pada isi berita, tapi juga harus dirasakan oleh orang-orang yang memproduksinya. Melindungi buruh media bukan hanya kewajiban hukum—tapi juga panggilan moral.
Oleh: Fahriza Fahrin Nanda dan Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I.
No comments:
Post a Comment