Warta Journalizm - Pekerja media di Indonesia adalah penjaga demokrasi dan kebebasan media, tetapi pekerjanya sendiri sering kali merupakan korban ketidakadilan dalam hubungan kerja yang tidak adil. Dari perspektif aturan, posisi hukum pekerja media di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan UU No.13 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 dan juga Undang Undang Pers UU No. 40 tahun 1999. UU Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang hak-hak dasar, termasuk upah layak, jaminan sosial, dan pemberhentian hubungan kerja pada setiap kasus. Sementara itu, UU Pers menjamin kebebasan pers dan memberikan perlindungan kepada jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Namun dalam praktiknya, pelanggaran terhadap kedua regulasi ini masih sering terjadi, seperti pekerja media yang tetap berstatus kontrak selama bertahun-tahun tanpa kejelasan status atau jaminan sosial, pemotongan upah sepihak, dan PHK tanpa pesangon.
Etika jurnalistik, sebagaimana dirumuskan dalam Kode Etik Jurnalistik oleh Dewan Pers serta organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menekankan nilai-nilai independensi, akurasi, dan tanggung jawab. Namun tekanan dari pemilik media, kepentingan bisnis, dan politik sering kali mengaburkan batas antara kepatuhan etika dan tekanan kerja, sehingga buruh media tidak hanya dibebani tugas profesional, tetapi juga rentan terhadap intervensi dan eksploitasi. Lebih parah lagi, kriminalisasi terhadap jurnalis masih terjadi melalui pasal-pasal karet seperti pencemaran nama baik dalam UU ITE, yang digunakan untuk membungkam laporan-laporan investigatif, padahal mereka sedang menjalankan fungsi kontrol sosial. Salah satu masalah yang cukup krusial adalah lemahnya posisi tawar buruh media akibat minimnya keberadaan dan pengakuan serikat pekerja di perusahaan media. Banyak media tidak mengizinkan pembentukan serikat, atau bahkan membubarkannya secara paksa, padahal serikat merupakan hak dasar pekerja dan alat penting untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kondisi kerja yang layak. Salah satu contoh nyata yang mencerminkan kondisi ini terjadi pada tahun 2025, saat enam buruh media di Pinusi.com mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Mereka sebelumnya bekerja tanpa kontrak resmi dan gaji dibayar tidak tepat waktu, namun saat diberhentikan pun mereka tidak mendapat kompensasi ataupun hak sesuai hukum.
Kasus ini mendapat perhatian dari Dewan Pers, AJI, dan LBH Pers yang mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk eksploitasi dan pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Masalah semacam ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara regulasi dan implementasi di lapangan. Di sisi lain, perusahaan media berdalih menghadapi krisis keuangan dan persaingan digital, namun hal ini tidak bisa menjadi pembenaran atas pelanggaran hak buruh. Oleh karena itu, perlindungan terhadap buruh media harus menjadi prioritas bersama antara negara, masyarakat sipil, dan industri pers sendiri. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan media, serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran. Dewan Pers pun perlu lebih aktif dalam membela kepentingan jurnalis, tidak hanya dalam ranah editorial tetapi juga dalam aspek ketenagakerjaan. Di sisi lain, pekerja media harus terus memperjuangkan hak-haknya secara kolektif melalui organisasi atau serikat pekerja, serta membekali diri dengan pemahaman hukum dan etika profesi. Dengan begitu, buruh media tidak hanya dilindungi secara hukum, tetapi juga memiliki martabat dan kesejahteraan yang layak dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Tanpa perlindungan yang memadai, kemerdekaan pers akan terus terancam, dan informasi yang diterima publik pun bisa terganggu oleh kepentingan-kepentingan di luar nilai-nilai jurnalistik. Maka dari itu, reformasi ketenagakerjaan di sektor media menjadi salah satu langkah penting demi menciptakan ekosistem pers yang adil, profesional, dan berkelanjutan di Indonesia.
Oleh : Mohammad Arsyad Najih
No comments:
Post a Comment