Warta Journalizm - Dunia industri media sering dipandang sebagai lingkungan kerja yang dinamis, penuh kreativitas, dan menjanjikan bagi para pencari karier yang memiliki passion dalam bidang kreatif. Namun, di balik gemerlap dunia konten dan produksi media, terdapat realitas yang kerap tersembunyi: burnout kreatif. Fenomena ini muncul ketika passion yang awalnya menjadi sumber energi dan motivasi, perlahan berubah menjadi beban yang melelahkan secara mental maupun fisik bagi pekerja media. Menurut survei global yang dilakukan oleh Reuters Institute pada tahun 2023, sekitar 67% pekerja media mengalami gejala burnout dalam 12 bulan terakhir, angka yang mengkhawatirkan dibandingkan dengan rata-rata industri lain sebesar 52% (Reuters Institute, 2023). Burnout kreatif tidak hanya berdampak pada kesehatan mental individu, tetapi juga berpotensi merugikan kualitas produksi media dan keberlanjutan industri secara keseluruhan.
Burnout kreatif pada pekerja media tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dariakumulasi beberapa faktor yang saling berkaitan. Pertama, tekanan deadline yang konstan. Survei oleh Media Wellbeing Alliance (2022) menunjukkan bahwa 78% pekerja media bekerja dengan deadline harian atau bahkan dalam hitungan jam. Tekanan waktu ini menyebabkan pekerja media terus beroperasi dalam mode "fight-or-flight", yang secara biologis tidak dimaksudkan untuk dipertahankan dalam jangka panjang.
Ekspektasi produktivitas yang terus meningkat. Era digital dan media sosial telah menciptakan kebutuhan akan konten yang konstan, menyebabkan pekerja media harus terus berinovasi dan menghasilkan konten dalam volume yang lebih besar. Data dari Content Marketing Institute (2024) menunjukkan bahwa tuntutan produksi konten telah meningkat sebesar 42% dalam lima tahun terakhir, sementara sumber daya manusia hanya bertambah 15%. Selain itu, fenomena "always on" di era digital. Penelitian yang dilakukan oleh Deloitte (2023) menemukan bahwa 85% pekerja media memeriksa pesan kerja dan media sosial di luar jam kerja, bahkan 37% di antaranya melakukannya sebelum tidur dan segera setelah bangun tidur. Batasan antara kehidupan pribadi dan profesional menjadi semakin kabur, mengurangi waktu pemulihan yang dibutuhkan oleh otak kreatif.
Burnout kreatif memiliki manifestasi yang khas pada pekerja media. Salah satunya adalah fenomena "blok kreatif" yang berkepanjangan. Berbeda dengan blok kreatif biasa yang bersifat sementara, blok kreatif akibat burnout bisa berlangsung berbulan-bulan dan disertai dengan rasa cemas yang intens (World Health Organization, 2022). Secara fisik, burnout kreatif dapat bermanifestasi dalam gangguan tidur, sakit kepala kronis, hingga masalah pencernaan. Menurut data dari Asosiasi Kesehatan Kerja Indonesia (2024), pekerja media memiliki tingkat gangguan tidur 40% lebih tinggi dibandingkan rata-rata pekerja industri lainnya.
Burnout kreatif tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada industri media secara keseluruhan. Tingkat turnover yang tinggi menjadi salah satu indikatornya. Laporan dari International Federation of Journalists (2023) mencatat bahwa tingkat turnover pada industri media mencapai 27% per tahun, jauh di atas rata-rata industri lain yang berkisar 15%.
Dampak lain yang signifikan adalah penurunan kualitas konten. Studi yang dilakukan oleh Columbia Journalism Review (2022) menemukan korelasi antara tingkat burnout redaksi dengan penurunan kualitas jurnalistik, termasuk berkurangnya ketelitian faktual, kedalaman analisis, dan orisinalitas konten. Hal ini pada gilirannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap media, yang merupakan aset berharga bagi industri ini.
Beberapa strategi telah terbukti efektif dalam mengatasi burnout kreatif. Di tingkat organisasi, restrukturisasi beban kerja dan implementasi kebijakan "digital detox" seperti yang diterapkan oleh beberapa media terkemuka seperti The Guardian dan Der Spiegel telah menunjukkan hasil positif. Menurut laporan Harvard Business Review (2023), perusahaan media yang menerapkan kebijakan "no email after hours" mengalami peningkatan produktivitas sebesar 23% dan penurunan turnover sebesar 17%.
Di tingkat individu, praktik mindfulness dan batas waktu digital telah terbukti efektif. Studi yang dilakukan oleh University of California (2024) menunjukkan bahwa pekerja media yang mempraktikkan mindfulness selama 15 menit sehari mengalami penurunan gejala burnout sebesar 34% dalam enam bulan.
Burnout kreatif pada pekerja media merupakan fenomena kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensi untuk mengatasinya. Diperlukan kesadaran dan tindakan bersama dari individu, organisasi media, dan ekosistem industri untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih berkelanjutan. Industri media perlu menyadari bahwa kreativitas bukanlah sumber daya tak terbatas yang dapat dieksploitasi terus-menerus. Seperti halnya sumber daya alam, kreativitas membutuhkan waktu untuk diregenerasi dan dirawat.
Dengan memahami bahwa passion bukanlah pengganti kesejahteraan, industri media dapat berkembang menjadi lebih sehat dan berkelanjutan. Pada akhirnya, mengatasi burnout kreatif bukan hanya tentang kesejahteraan pekerja media secara individual, tetapi juga tentang menjaga integritas dan keberlanjutan industri media yang vital bagi masyarakat informasi.
Oleh: Zulfana Izzatin Nisa & Primi Rohimi S. Sos., M. Si
No comments:
Post a Comment