Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Perlindungan Hukum dan Etika Profesi terhadap Jurnalis Freelance sebagai Buruh Media di Indonesia

Warta Journalizm - Di balik layar dunia pemberitaan yang dinamis dan cepat, terdapat sosok-sosok pekerja media yang sering kali luput dari perhatian para jurnalis freelance. Mereka bekerja tanpa status karyawan tetap, tanpa perlindungan sosial, dan sering kali tanpa jaminan hukum yang layak. Padahal, kontribusi mereka dalam menyajikan informasi kepada publik sama besarnya dengan jurnalis tetap yang berada di bawah paying media besar. Dalam banyak kasus, jurnalis freelance turut terlibat dalam liputan yang penuh risiko, mulai dari peliputan bencana, konflik, hingga isu-isu sensitif yang mengandung potensi ancaman fisik maupun digital. Sayangnya, keberadaan mereka belum sepenuhnya diakui secara formal dalam sistem hukum dan etika profesi yang berlaku di Indonesia.

Dari sisi hukum ketenagakerjaan, posisi jurnalis freelance berada dalam area yang abu-abu. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, serta peraturan turunannya, belum secara eksplisit mengatur mekanisme perlindungan bagi pekerja lepas di sektor media (Irham Rahman, 2020). Akibatnya, mereka kerap dianggap bukan sebagai pekerja, melainkan sebagai mitra kerja atau penyedia jasa, sehingga tidak berhak atas perlindungan normatif seperti upah minimum, jaminan sosial, perlindungan kecelakaan kerja, maupun pesangon atau upah ketika terjadi pemutusan hubungan kerja. Padahal, beban kerja yang mereka tanggung tidak jauh berbeda, bahkan dalam beberapa kasus, lebih berat karena mereka harus bekerja tanpa fasilitas kantor atau perlindungan redaksional.

Permasalahan lain yang dihadapi jurnalis freelance adalah lemahnya posisi tawar terhadap perusahaan media. Dalam banyak situasi, mereka tidak memiliki kekuatan untuk menegosiasikan honor arium, waktu kerja, atau perlindungan dalam peliputan. Kontrak kerja yang diberikan pun kerap tidak memuat kejelasan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Bahkan tidak jarang, perjanjian kerja hanya dilakukan secara lisan tanpa bukti tertulis. Hal ini membuat jurnalis freelance sangat rentan terhadap praktik-praktik eksploitatif, seperti keterlambatan pembayaran, penolakan terhadap karya tanpa alasan yang jelas, atau bahkan pencatutan karya jurnalistik tanpa kompensasi dan atribusi yang layak.

Dari sudut pandang etika profesi, jurnalis freelance berada dalam posisi yang dilematis. Kode Etik Jurnalistik yang berlaku di Indonesia mengikat seluruh pelaku jurnalistik, termasuk mereka yang berstatus freelance (Agus Sudibyo, 2014). Namun, dalam praktiknya, jurnalis lepas sering kali tidak memiliki dukungan struktural untuk menjaga integritas profesinya. Mereka dihadapkan pada tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk menerima liputan-liputan yang bertentangan dengan hati nurani atau prinsip jurnalistik. Tidak jarang, mereka diminta menyusun narasi sesuai kepentingan redaksi atau pemilik media, meskipun hal tersebut mengorbankan nilai-nilai keberimbangan, akurasi, dan independensi. Dalam situasi seperti ini, beban etis menjadi tanggung jawab pribadi, bukan tanggung jawab kolektif institusi.

Perkembangan teknologi digital juga memperparah tantangan yang dihadapi jurnalis freelance. Di era gig economy saat ini, perusahaan media cenderung mengutamakan efisiensi biaya dengan mengalihdayakan liputan kepada pekerja lepas. Model kerja berbasis proyek membuat jurnalis freelance harus terus bersaing dengan sesama pekerja untuk mendapatkan penugasan, yang secara tidak langsung menurunkan nilai tawar dan stabilitas penghasilan mereka. Selain itu, jurnalis freelance juga berhadapan dengan risiko baru, seperti penyebaran informasi pribadi, perundungan siber, dan kriminalisasi atas karya jurnalistik mereka. Ketika menghadapi ancaman seperti itu, banyak dari mereka tidak memiliki akses pada bantuan hukum atau dukungan psikososial yang memadai.

Menghadapi realitas ini, perlu ada upaya kolektif dari negara, perusahaan media, organisasi profesi, dan masyarakat untuk memperkuat perlindungan hukum dan etika bagi jurnalis freelance. Negara perlu segera merumuskan regulasi yang mengakui status pekerja lepas sebagai bagian dari struktur ketenagakerjaan yang sah, serta menjamin hak-hak dasar mereka. Perusahaan media harus menerapkan standar kerja yang adil, termasuk pemberian kontrak yang transparan, sistem pembayaran yang tertib, dan perlindungan dalam peliputan berisiko. Di sisi lain, organisasi profesi seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dan LBH Pers (Lembaga Bantuan Hukum Pers) dapat memperkuat fungsi advokasi dan edukasi etika bagi jurnalis freelance agar mereka mampu bekerja dengan profesional, namun tetap terlindungi secara hukum.

Selain tekanan dari aspek ekonomi dan hukum, jurnalis freelance juga menghadapi keterasingan secara sosial dalam struktur industri  media. Mereka tidak memiliki tempat yang tetap dalam organisasi redaksi, sehingga sering kali tidak mendapatkan akses pada forum-forum diskusi redaksional, pelatihan internal, atau bahkan sekadar ruang untuk menyampaikan pendapat. Hal ini menciptakan kesenjangan yang semakin dalam antara jurnalis freelance dan jurnalis tetap (Joko Widodo, 2023). Mereka bekerja dalam sunyi, meskipun hasil kerjanya menyebar luas di ruang publik. Dalam kondisi seperti ini, rasa kepemilikan terhadap profesi dapat terkikis, dan rasa keadilan pun menjadi ilusi belaka.

Dari sisi psikologis, tekanan yang dihadapi oleh jurnalis freelance juga tidak bisa dipandang remeh. Ketiadaan kepastian penghasilan, ketidakjelasan status kerja, serta beban etika yang ditanggung sendiri dapat menimbulkan stres berkepanjangan. Di tengah tuntutan untuk terus produktif, mereka harus menjaga integritas, kualitas tulisan, dan keselamatan pribadi semuanya dalam waktu yang bersamaan. Tidak sedikit jurnalis freelance yang mengalami kelelahan mental (burnout) atau kehilangan motivasi akibat tekanan struktural yang terus menerus. Namun, karena tidak berada dalam struktur formal perusahaan, mereka juga tidak memiliki akses pada dukungan psikososial, seperti konseling atau cuti pemulihan (Widia Arianti dan Irwanto, 2021).

Kondisi ini juga berdampak langsung pada kualitas jurnalistik itu sendiri. ketika jurnalis freelance dipaksa bekerja dalam kondisi tidak pasti, dibayar di bawah standar, dan terus berada dalam tekanan untuk memenuhi tenggat waktu tanpa jaminan stabilitas, maka kualitas kerja jurnalistik yang dihasilkan pun berisiko menurun. Berita juga bisa menjadi tergesa-gesa, tidak akurat, atau bahkan berpihak pada pemilik kepentingan tertentu. Hal ini tidak semata-mata merupakan kegagalan pribadi, tetapi lebih merupakan cerminan dari sistem yang gagal menyediakan ruang kerja yang adil dan bermartabat bagi para pekerja medianya. Jika jurnalisme adalah salah satu tiang penyangga demokrasi, maka kondisi kerja jurnalis adalah fondasinya, dan fondasi itu saat ini sedang rapuh.

Lebih jauh, jurnalis freelance juga kerap kali diabaikan dalam proses pengambilan kebijakan media, baik di tingkat perusahaan maupun negara. Mereka jarang dilibatkan dalam dialog-dialog kebijakan, pembentukan standar kerja, maupun penyusunan pedoman etika. Padahal, suara mereka penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mencerminkan kenyataan kerja di lapangan (Djuroto dan Nina Winangsih Syam, 2019). Tanpa partisipasi dari jurnalis freelance, kebijakan akan terus berpihak pada struktur yang mapan dan menyingkirkan kelompok rentan dari proses pengambilan keputusan. Sudah saatnya negara dan organisasi pers membuka ruang yang lebih inklusif bagi partisipasi jurnalis freelance dalam reformasi media.

Dalam konteks global, beberapa negara telah mulai merespons tantangan ini dengan menciptakan mekanisme perlindungan khusus bagi pekerja media lepas. Di Eropa, misalnya, sejumlah negara telah menetapkan standar minimum upah dan asuransi untuk jurnalis freelance. Bahkan ada asosiasi jurnalis freelance yang terdaftar secara resmi dan memiliki kekuatan tawar dalam negosiasi kontrak kerja. Indonesia pun dapat mengambil pelajaran dari praktik-praktik ini, dengan menyesuaikannya pada konteks lokal. Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah mendorong Dewan Pers untuk menyusun pedoman perlindungan jurnalis freelance, baik dalam aspek hukum, etika, maupun kesejahteraan.

Penguatan solidaritas antarjurnalis juga menjadi kunci penting dalam memperbaiki kondisi ini. Jurnalis tetap dan freelance tidak semestinya dipertentangkan, karena keduanya bekerja dalam misi yang sama menyampaikan kebenaran kepada publik. Dalam situasi di mana solidaritas profesi terbangun, maka peluang untuk menciptakan sistem kerja yang adil dan etis akan semakin terbuka. Organisasi-organisasi pers juga perlu menempatkan isu buruh media sebagai bagian dari agenda utama perjuangan mereka, bukan hanya sekadar tambahan atau pelengkap.

Maka dari itu, perlindungan hukum dan etika profesi bagi jurnalis freelance bukan hanya persoalan teknis ketenagakerjaan, melainkan juga merupakan bentuk pengakuan atas martabat manusia dalam dunia kerja. Ketika negara, media, dan masyarakat bersama-sama berkomitmen untuk melindungi jurnalis freelance, maka kita tidak hanya melindungi para pekerja media itu sendiri, tetapi juga menjaga ruang publik yang sehat, terbuka, dan demokratis. Sebab di balik setiap informasi yang kita konsumsi, terdapat kerja keras, integritas, dan keberanian dari mereka yang memilih jalan sunyi sebagai penyambung suara kebenaran.

Oleh : Adiba 'Amelia

No comments:

Post a Comment