Warta Journalizm - Industri media di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi. Namun, di balik perkembangan tersebut, terdapat tantangan yang cukup signifikan terkait dengan perlindungan hak-hak pekerja media. Meskipun berbagai regulasi telah dirumuskan untuk menjamin kesejahteraan pekerja, implementasinya seringkali tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi landasan utama perlindungan hak-hak pekerja di Indonesia. Undang-Undang ini mencakup berbagai aspek, mulai dari hubungan kerja, upah, waktu kerja, hingga jaminan sosial. Namun, dalam praktiknya, banyak pekerja media masih menghadapi status kepegawaian yang rendah, upah yang tidak memadai, dan jaminan sosial.
Penelitian Yulianto (2011) menunjukkan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri hanya berhak atas uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja. sesuai dengan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hal ini menunjukkan terbatasnya perlindungan hukum bagi pekerja media yang seringkali berada dalam posisi rentan.
Selain itu, penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga menuai kontroversi. Meski bertujuan untuk meningkatkan investasi dan menyedot banyak tenaga kerja, banyak pihak menilai undang-undang ini justru memberikan perlindungan bagi pekerja. Permana dan Sutrisno (2021) memaparkan bahwa penerapan perlindungan hukum dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) masih menghadapi kendala, seperti minimnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum.
Dalam konteks industri media, pekerja kerap kali bekerja melebihi jam kerja normal tanpa adanya waktu lembur yang memadai. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Airlangga (2023) mengungkap bahwa sekitar 54,11% pekerja industri perfilman mengaku bekerja 16 hingga 20 jam per hari, sementara 7,2% bekerja lebih dari 20 jam per hari. Kondisi ini mencerminkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan jam kerja yang ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan.
Minimnya keterwakilan serikat pekerja di perusahaan media juga menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi pekerja media. Tanpa wadah untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan hak-haknya, pekerja media cenderung berada pada posisi yang lemah dalam hubungan ketenagakerjaan. Anindya dan Damayanti (2021) menekankan pentingnya pemahaman hak dan kewajiban dalam hubungan ketenagakerjaan, serta perlunya tindakan nyata dari pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan.
Di era digital, tantangan perlindungan hak pekerja media semakin kompleks. Setiawan (2023) mencatat bahwa digitalisasi industri telah meningkatkan kemerosotan, dan negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pekerjaan yang layak dan mengatur agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus terkait pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi industri.
Studi kasus di Harian Solopos menunjukkan bahwa perusahaan media dapat menerapkan perlindungan hukum bagi pekerjanya. Universitas Riset Sebelas Maret (2003) menyatakan bahwa Solopos telah memenuhi ketentuan UU Ketenagakerjaan dalam hal perlindungan karyawan, pemecatan, dan kesejahteraan. Namun, kepadatan kerja di bagian redaksi menunjukkan perlunya regulasi yang lebih spesifik sesuai dengan karakteristik kerja media.
Secara keseluruhan, meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum yang mengatur perlindungan tenaga kerja, penerapannya di sektor media masih menghadapi berbagai tantangan. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, perusahaan media, dan pekerja untuk memperkuat penerapan undang-undang ketenagakerjaan dan memastikan hak-hak pekerja media terlindungi secara efektif.
Oleh : Amelia Nurul Askiya
No comments:
Post a Comment