Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Kerja Tak Nampak, Hak yang Tergerus.

Kerja Tak Nampak, Hak yang Tergerus.

 

Di balik derasnya arus informasi yang kita konsumsi setiap hari, ada banyak tangan-tangan yang tak terlihat, mereka bekerja tanpa henti. Mereka adalah buruh media seperti, jurnalis, editor, kamerawan, teknisi, hingga pekerja lepas yang kita anggap sebagai pilar demokrasi. Sayangnya, kerja keras mereka kerap luput dari sorotan, bukan hanya secara fisik tetapi juga dalam hal perlindungan hak. Dalam esai ini, nantinya akan mengulas bagaimana kerja yang tak nampak itu kerap berujung pada hak yang tergerus, dalam bingkai hukum dan etika, dan mengapa kita tidak boleh tinggal diam.


Kita perlu memahami bahwa buruh media tidak hanya terbatas pada jurnalis. Banyak di antara mereka adalah pekerja lepas (freelancer), kontributor, dan pekerja magang yang posisinya sangat rentan. Mereka seringkali tidak memiliki kontrak kerja tetap, tidak dijamin upah layak, apalagi jaminan sosial. Bahkan dalam banyak kasus, mereka bekerja di bawah tekanan tenggat waktu yang sangat ketat, tanpa adanya perlindungan asuransi kerja, asuransi kesehatan, atau tunjangan pensiun. Situasi ini bertentangan dengan prinsip dasar hukum ketenagakerjaan yang menjamin hak atas kepastian kerja, upah yang adil, dan perlindungan sosial. Banyak kasus, pekerja media mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak, upah yang tertunda, bahkan pelecehan saat bertugas di lapangan. Mereka juga kerap dihadapkan pada risiko keamanan saat meliput isu-isu sensitif, tanpa dukungan hukum dan perlindungan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Sayangnya, mekanisme perlindungan hukum kerap tidak berjalan efektif. Banyak perusahaan media memanfaatkan status "kontributor lepas" untuk menghindari 


Di sisi lain, kode etik jurnalisme yang menjunjung tinggi keadilan, keberpihakan pada kebenaran, dan perlindungan terhadap narasumber seringkali tidak diterapkan dalam relasi kerja di ruang redaksi. Ironisnya, media yang setiap hari menyoroti isu ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia di luar sana justru abai terhadap hak-hak pekerjanya sendiri. 


Etika dan hukum seharusnya berjalan seiring. Perusahaan media tidak bisa terus menerus berbicara soal integritas dan keberimbangan dalam pemberitaan, tetapi menutup mata atas ketidakadilan yang dialami buruhnya sendiri. Keadilan yang diperjuangkan dalam produk jurnalistik seharusnya juga diwujudkan dalam perlakuan kepada pekerjanya.


Masalah ini semakin rumit dalam era digital dan disrupsi media. Model bisnis media yang bergeser ke platform daring dan ketergantungan pada algoritma membuat posisi buruh media semakin terdesak. Banyak media melakukan efisiensi besar-besaran, memotong jumlah karyawan tetap dan menggantinya dengan tenaga kerja kontrak atau freelance. Beban kerja meningkat, tetapi jaminan kesejahteraan semakin menipis. Dalam kondisi seperti ini, tidak sedikit buruh media yang akhirnya memilih bertahan dalam situasi yang tidak layak karena keterbatasan lapangan kerja.


Kerja mereka boleh jadi tak nampak, tetapi hak mereka tidak boleh diabaikan. Memperjuangkan hak buruh media adalah memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan masa depan demokrasi itu sendiri.


Oleh: Intan Maharani dan Primi Rohimi, S. Sos. M. S. I. 

No comments:

Post a Comment