Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Etika dan Regulasi dalam Perlindungan Buruh Media

Etika dan Regulasi dalam Perlindungan Buruh Media

Warta Journalizm - Industri media Indonesia telah berkembang pesat, terutama dengan munculnya media digital, yang memungkinkan lebih banyak orang untuk mendapatkan informasi. Namun, kemajuan ini tidak selalu diikuti dengan perlindungan yang cukup bagi karyawan media. Banyak pekerja media, terutama pekerja kontrak dan jurnalis lepas, menghadapi ketidakpastian pekerjaan, upah rendah, dan jaminan sosial yang rendah. Oleh karena itu, penting untuk melihat seberapa baik peraturan hukum dan etika profesi melindungi karyawan media di dunia kerja modern.

Prinsip kejujuran, tanggung jawab, dan profesionalisme adalah inti dari Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers. Namun demikian, etika industri media juga harus mencakup perlakuan yang adil terhadap karyawan media. Etika tidak hanya terkait dengan produk jurnalistik, tetapi juga hubungan bisnis di balik layar. Sayangnya, banyak perusahaan media masih mengabaikan hal-hal ini, terutama untuk karyawan lepas yang tidak memiliki kontrak formal dan tidak menerima tunjangan atau jaminan kesehatan.

Jurnalis dan pekerja media menghadapi tekanan kerja yang tinggi, tenggat waktu yang ketat, dan kemungkinan konflik di tempat kerja. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2023 menemukan bahwa 82% jurnalis lepas tidak menerima jaminan sosial dari media dan 71% mengaku tidak memiliki kontrak kerja. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang tidak layak, seperti jam kerja yang terlalu lama, honorarium yang tidak dibayar tepat waktu, dan tidak ada dukungan untuk mereka yang mengalami kekerasan selama liputan.

Secara hukum, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers dan ketenagakerjaan. Namun, regulasi ini tidak menjelaskan perlindungan bagi pekerja media yang memiliki sistem kerja yang fleksibel seperti kontributor atau freelance. Ini menciptakan celah hukum, yang perusahaan media sering manfaatkan untuk menghindari tanggung jawab mereka.

Tidak adanya hukum juga menghambat upaya perlindungan buruh media. Sementara serikat pekerja media masih terbatas dan sering dipaksa oleh manajemen perusahaan, lembaga seperti Dewan Pers berkonsentrasi pada konten jurnalistik daripada kondisi kerja insan pers.

Kasus kematian jurnalis lepas Demas Laira pada tahun 2020 menunjukkan bahwa tidak ada perlindungan yang diberikan kepada jurnalis yang bekerja tanpa jalur kerja formal. Setelah menulis berita kritis, Demas, yang bekerja secara independen, ditemukan tewas dengan luka tusukan. Sayangnya, tidak ada perusahaan media yang bertanggung jawab secara hukum atas keselamatannya karena dia adalah jurnalis lepas.

Selain itu, karena jurnalis lepas tidak memiliki ikatan hukum formal dengan media tempat mereka menulis artikel, banyak yang kesulitan mendapatkan kompensasi setelah mereka menulisnya. Ini menunjukkan bahwa hubungan kerja antara jurnalis lepas dan media harus diatur dengan lebih rinci.

Penguatan etika kerja media dan reformasi regulasi diperlukan untuk melindungi hak-hak buruh media. Beberapa tindakan yang dapat diambil termasuk: 

1. Memperbaiki UU Ketenagakerjaan untuk memungkinkan model kerja yang lebih fleksibel dan perlindungan yang adil bagi pekerja lepas

2. Meningkatkan fungsi Dewan Pers untuk mengawasi etika ketenagakerjaan di industri media 

3. Mewajibkan kontrak kerja tertulis antara media dan jurnalis lepas yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak

4. Mendorong pembentukan dan penguatan serikat pekerja media.


Oleh: Aang Dede Sulaiman

No comments:

Post a Comment