Warta Journalizm - Keterbatasan ekonomi menjadi ombak yang memukul telak bagi siapa saja yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bagi Ridwan Maulana, mahasiswa semester dua Manajemen Dakwah di IAIN Kudus, kuliah bukan sekadar rutinitas, melainkan medan perjuangan.
Ia adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara yang tumbuh dari keluarga tanpa penghasilan tetap ayah yang telah lama sakit dan tidak bisa bekerja, sementara ibunya sibuk mengurus adik-adik di rumah. Namun di balik semua itu, ia menyimpan tekad keras: menjadi sarjana pertama dalam keluarganya.
Sejak lulus SMA, Ridwan tidak pernah berpikir akan berkuliah. Tekanan ekonomi mendorong kakak-kakaknya berharap ia langsung bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Namun, takdir berkata lain. la diterima di IAIN Kudus melalui jalur undangan. "Sebetulnya dulu nggak ada niatan kuliah. Dari keluarga maunya langsung kerja. Tapi karena sudah keterima, saya pikir ini kesempatan yang nggak bisa saya sia-siakan," ungkapnya sambil tersenyum.
Meski kondisi sulit, Ridwan tidak patah arah. la tetap melanjutkan kuliah sambil sesekali bekerja-dari ikut orang, jualan gorengan, hingga kerja paket di ekspedisi. Namun untuk saat ini, ia belum bisa bekerja kembali karena situasi belum memungkinkan. Namun ia tetap aktiftergabung dalam organisasi KSR PMI di kampus, juga aktif di IPNU–IPPNU di lingkungan rumah.
“Dulu sempat jualan gorengan terus sempat ikut kerja pengiriman barang juga, dan sekarang sedang tidak ada kerjaan tetap. Tapi kalau ada tawaran ya saya ambil. Apa aja.” Selanjutnya dia menambahkan. "Keliatannya sibuk, tapi ya memang harus pintar-pintar atur waktu. Kuliah, organisasi, kerja-semua dijalani semampunya.” pungkasnya.
Kisah Ridwan adalah cerminan nyata dari banyak pemuda Indonesia yang terjebak antara harapan keluarga dan impian pribadi. salah satu tantangan terbesarnya dalam menempuh pendidikan adalah membagi waktu dan tenaga: antara kuliah, kerja, dan organisasi. Alat penunjang perkuliahan seperti HP dan laptop pun masih terbatas.
Dukungan ibunya jadi bahan bakar utama. Ibu yang mengupayakan segala cara agar dia bisa berkuliah serta doa yang dipanjatkan, bahkan membesarkan hatinya ketika suara-suara lain menyuruhnya berhenti. "Kalo nggak ada dukungan dari ibu, pasti saya udah nggak kuliah. Tapi saya percaya, minimal dari sembilan anak, harus ada satu yang nyampe sarjana."
Dia percaya bahwa kesuksesan bukan melulu soal harta. "Bahagia itu milik semua orang, bukan cuma yang punya banyak uang," katanya. la ingin lulus tepat waktu di semester tujuh, tak muluk-muluk, cukup tanpa mengulang mata kuliah. Lebih dari itu, ia ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti. Bahwa pendidikan tinggi terbuka untuk siapapun yang mau berusaha.
"Innamal a'malu bin niyat," katanya, mengutip hadits. "Hasil tergantung dari niat kita di awal. Kalau sudah mulai, harus diselesaikan.". Dirinya menyebut untuk tidak ragu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, apalagi untuk teman-teman disabilitas karena pendidikan terbuka bagi semua orang tanpa pandang bulu. Karena yang terpenting adalah kita mau mencoba daripada tidak berani untuk mencoba sama sekali.
Dia juga mempunyai rencana untuk lulus tepat waktu. Targetnya realistis: lulus semester tujuh, tak ada pengulangan mata kuliah. Tapi impiannya jauh lebih besar-menjadi orang pertama dikeluarganya yang menyentuh toga, mengubah cerita hidup dari halaman yang dulu selalu bicara sal kekurangan.
”Ada keinginan dalam diri saya. Dari sembilan bersaudara, setidaknya ada satu yang kuliah. "Ucapnya kala itu. Bagi Ridwan, hidup bukan soal menunggu datangnya kesempatan. Tapi soal menjemputnya. Bahkan bila harus berjalan kaki. "Saya ingin memperbesar peluang dengan kuliah. Dan saya memulai dari diri saya sendiri."
Oleh: Alya Rahma Fatimatuzzahra, Nabila Intan Nurullita, Sinta Saputri, Fat Hur Rohman, Sahla Nadzifa, dan Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I.
No comments:
Post a Comment