Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Buruh Media, Etika yang Terlupakan: Sebuah Kritik terhadap Praktik Perusahaan Pers

Warta Journalizm - Industri media di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang sangat serius dan penuh ironi. Media adalah pilar utama demokrasi, tempat masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Namun, di balik layar, para pekerja media yang menjadi ujung tombak dalam menghasilkan berita justru sering mengalami perlakuan tidak adil dan eksploitasi dari perusahaan tempat mereka bekerja. Kondisi ini menjadi masalah besar yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut kesejahteraan mereka sekaligus kualitas informasi yang sampai ke publik.

 Salah satu masalah paling nyata yang dihadapi pekerja media adalah soal upah. Banyak dari mereka menerima gaji yang sangat rendah, bahkan di bawah standar upah minimum di daerah masing-masing. Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada awal 2023 menunjukkan bahwa hampir setengah dari jurnalis di Indonesia dibayar di bawah standar yang layak. Lebih menyedihkan lagi, ada yang tidak punya gaji pokok sama sekali dan hanya mendapatkan bayaran berdasarkan berapa banyak berita yang mereka buat atau iklan yang berhasil didapat perusahaan. Bayangkan betapa sulitnya hidup dengan penghasilan yang tidak pasti dan seringkali tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari (Andriko Otang, 2019).

 Selain itu, beban kerja yang mereka tanggung sangat berat. Para jurnalis seringkali harus memenuhi target produksi berita yang sangat tinggi, tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Tekanan untuk terus menghasilkan konten dalam jumlah besar membuat mereka harus bekerja lembur, bahkan di luar jam kerja normal, tanpa kompensasi yang memadai. Kondisi seperti ini tentu sangat melelahkan dan berpotensi menurunkan kualitas berita yang mereka hasilkan. Ketika pekerja media dipaksa bekerja dalam tekanan tinggi, tidak heran jika kualitas jurnalistik juga ikut menurun. Masalah lain yang tidak kalah penting adalah ketidakpastian status kerja. Sebagian besar pekerja media hanya mendapatkan kontrak kerja sementara yang tidak memberikan perlindungan jangka panjang. Bahkan mereka yang sudah dianggap sebagai karyawan tetap sering kali dibayar berdasarkan hasil kerja, bukan gaji tetap bulanan. Akibatnya, hak-hak dasar seperti pesangon, asuransi kesehatan, dan perlindungan ketenagakerjaan sulit mereka dapatkan. Ini menunjukkan bahwa perusahaan media memanfaatkan celah aturan untuk mengeksploitasi pekerja dan memperlemah posisi tawar mereka (Windy Liem, 2022).

 Pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang semakin sering terjadi, terutama sejak pandemi Covid-19, semakin memperparah penderitaan para pekerja media. Ironisnya, media yang selama ini mengkritik kebijakan ketenagakerjaan yang merugikan buruh justru ikut melakukan PHK dengan memberikan pesangon yang jauh di bawah ketentuan hukum. Para pekerja yang terkena PHK sering kali tidak berdaya untuk memperjuangkan hak-haknya karena minimnya dukungan dari serikat pekerja dan lembaga bantuan hukum. Ini menandakan lemahnya perlindungan hukum dan sosial bagi pekerja media di Indonesia (Edi Faisol, 2024).

 Kondisi kerja yang tidak layak ini juga berdampak pada kesehatan mental dan fisik buruh media. Beban kerja yang tinggi, jam kerja yang fleksibel tanpa batas jelas, risiko pekerjaan yang harus ditanggung sendiri, serta sulitnya mendapatkan jaminan sosial membuat pekerja media rentan mengalami gangguan kesehatan. Sayangnya, pemerintah dan perusahaan media belum memberikan perhatian serius terhadap kondisi ini, sehingga pekerja harus mencari solusi sendiri tanpa dukungan yang memadai. Pandemi Covid-19 bahkan memperparah situasi ini, menjadikan fleksibilisasi pasar tenaga kerja semakin eksploitasi dan tidak manusiawi.

 Etika perusahaan pers dalam memperlakukan buruh media menjadi pertanyaan besar ketika hak-hak dasar pekerja seperti upah layak, asuransi, dan perlindungan keselamatan kerja tidak dipenuhi. Dewan Pers sebagai lembaga pengawas seharusnya memastikan standar perusahaan pers terpenuhi, namun praktik eksploitasi masih marak terjadi. Eksploitasi buruh media tidak hanya merugikan pekerja secara individu, tetapi juga merusak demokrasi karena jurnalis yang tertekan secara ekonomi dan psikologis tidak dapat bekerja secara profesional dan menghasilkan karya jurnalistik berkualitas.

 Salah satu solusi yang diusulkan adalah pembentukan dan penguatan asosiasi pekerja media. Dengan adanya asosiasi, buruh media dapat memiliki daya tawar yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk upah layak, perlindungan kerja, dan jaminan sosial. Namun, kesadaran buruh media untuk membentuk asosiasi masih rendah, sebagian karena ketakutan akan represi dan kurangnya dukungan. Perusahaan media seringkali menghambat pembentukan asosiasi, sehingga buruh media tetap rentan terhadap eksploitasi (Satrio Arismunandar, 2018).

 Secara keseluruhan, kondisi buruh media di Indonesia mencerminkan sebuah ironi besar: mereka yang bertugas mengawal demokrasi dan menyuarakan kebenaran justru mengalami ketidakadilan dan eksploitasi di tempat kerja. Etika perusahaan pers yang seharusnya menjunjung tinggi hak asasi pekerja dan keadilan sosial tampak terlupakan demi keuntungan ekonomi semata. Perubahan mendasar diperlukan, baik dari kebijakan pemerintah, pengawasan Dewan Pers, serta kesadaran bersama buruh media untuk memperjuangkan hak mereka secara bersama-sama.

 Dengan demikian, praktik perusahaan pers yang mengabaikan etika ketenagakerjaan harus menjadi perhatian serius semua pihak. Buruh media bukan hanya pekerja biasa, melainkan pilar penting dalam menjaga kebebasan pers dan demokrasi. Memenuhi hak-hak mereka dan memperbaiki kondisi kerja adalah langkah penting untuk menciptakan industri media yang sehat, profesional, dan berkeadilan di Indonesia. 

 Oleh : Annisa Fitri

No comments:

Post a Comment