Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

"Antara Etika Jurnalistik dan Eksploitasi: Nasib Jurnalis Lepas di Indonesia"

"Antara Etika Jurnalistik dan Eksploitasi: Nasib Jurnalis Lepas di Indonesia"


Warta Journalizm - Media merupakan pilar penting dalam kehidupan demokrasi, berperan menyampaikan informasi, membentuk opini publik, serta menjadi kontrol sosial. Namun, di balik berita-berita besar yang muncul setiap hari, terdapat para buruh media terutama jurnalis lepas yang bekerja dalam bayang-bayang ketidakjelasan status hukum dan minimnya perlindungan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang etika jurnalistik dan potensi eksploitasi yang diabaikan oleh sistem hukum Indonesia.

Salah satu kasus yang menggambarkan ketimpangan ini terjadi pada seorang jurnalis lepas dari media nasional di wilayah konflik, seperti Papua atau wilayah rawan kriminalitas lainnya. Ia ditugaskan oleh redaksi pusat untuk meliput konflik sosial yang penuh risiko, tanpa perlengkapan memadai, pelatihan keamanan, atau perlindungan hukum. Liputannya kemudian dimuat oleh media induk, tetapi ia hanya menerima honor kecil, tanpa asuransi, tanpa tunjangan keselamatan kerja, dan bahkan tanpa pengakuan profesional yang layak.

Jurnalis lepas tersebut juga tidak memiliki status sebagai karyawan tetap, sehingga ketika ia mengalami ancaman atau intimidasi dari aparat dan massa, pihak media kerap lepas tangan dengan dalih "bukan tanggung jawab perusahaan karena ia bukan pegawai resmi." Ini merupakan wajah kelam dari sistem kerja media yang mempekerjakan banyak jurnalis lapangan tanpa kontrak yang sah dan tanpa perlindungan hukum.

Dalam Kode Etik Jurnalistik, keselamatan dan integritas wartawan adalah aspek yang penting. Namun, banyak media abai terhadap hal ini, terutama terhadap jurnalis lepaas dari daerah. Mereka diminta menyajikan liputan aktual, bahkan dalam kondisi berbahaya, demi mengejar kecepatan dan eksklusivitas berita. Ini menjadi bentuk eksploitasi terselubung, di mana nilai-nilai kemanusiaan dan profesionalisme dikorbankan demi keuntungan bisnis media.

Alih-alih menjunjung etika jurnalistik, media kerap memperlakukan jurnalis lepas sebagai "alat" produksi konten murah. Tanggung jawab terhadap keselamatan kerja dan hak-hak dasar jurnalis sering kali diabaikan, seolah pekerjaan mereka bukan bagian dari sistem formal.

Dari sisi hukum, buruh media, terutama yang berstatus jurnalis lepas, berada dalam posisi yang lemah. Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengakui hubungan kerja formal yang dibuktikan dengan perjanjian tertulis. Sementara itu, Undang-Undang Pers lebih fokus pada kebebasan pers daripada perlindungan terhadap pekerja media. Ini menciptakan kekosongan hukum yang membuat kontributor rawan dieksploitasi tanpa perlindungan legal.

Buruh media menjadi kelompok "abu-abu" yang tidak sepenuhnya diakui hak-haknya sebagai pekerja, meskipun mereka menjalankan tugas-tugas esensial dalam industri informasi. Ketiadaan kontrak, minimnya jaminan sosial, dan lemahnya pengawasan dari Dewan Pers maupun instansi ketenagakerjaan memperparah situasi ini.

Kasus jurnalis lepas yang bekerja tanpa perlindungan di wilayah rawan menjadi cermin problematis dari dunia jurnalistik Indonesia saat ini. Ketimpangan antara nilai etika jurnalistik dan praktik eksploitasi terhadap buruh media perlu segera dikoreksi melalui regulasi yang berpihak pada keselamatan dan keadilan pekerja. Negara dan industri media perlu duduk bersama untuk menyusun aturan turunan yang melindungi semua pekerja pers, termasuk yang berstatus jurnalis lepas atau freelance. Tanpa itu, media akan terus menambah jumlah korban diam dari sistem yang menindas atas nama informasi.


Oleh: Najwa Brillianto dan Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I.

No comments:

Post a Comment