Warta Journalizm - Sering dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, industri media yang menjaga kebenaran dan suara publik. Para pekerja media yang bekerja di balik layar seringkali luput dari perhatian dan perlindungan meskipun mereka melakukan pekerjaan yang sangat penting. Mereka bekerja di bawah tekanan komersial, perubahan dalam redaksi politik , dan sistem ketenagakerjaan yang semakin fleksibel namun tetap tidak stabil. Regulasi dan etika seharusnya berfungsi sebagai perlindungan di sini. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: regulasi yang tidak ketat sering memungkinkan dilakukannya praktik eksploitasi yang sistematis.
Pekerja media, termasuk jurnalis, editor, dan staf teknis, tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Namun, dalam kehidupan nyata, mereka sering menghadapi ketidakpastian pekerjaan, kontrak jangka pendek, dan jam kerja yang tidak manusiawi. McKercher dan Mosco (2007) menyebut fenomena ini sebagai "pekerjaan yang tidak pasti", yang berarti kondisi kerja yang tidak pasti dan tidak memiliki perlindungan, tetapi dikemas dalam cerita profesionalisme dan fleksibilitas.
Dalam industri media, etika kerja seharusnya mencakup prinsip peliputan berita dan bagaimana perusahaan memperlakukan karyawannya. Pelanggaran etika termasuk praktik seperti magang tanpa kompensasi, kerja lembur tanpa kompensasi, dan tekanan mental karena deadline yang tinggi. Banks dan Hesmondhalgh (2009) menunjukkan bahwa "passion" sering digunakan sebagai alasan untuk menormalisasi eksploitasi di bidang kreatif, seperti media.
Gelombang pemecatan sepihak jurnalis selama pandemi COVID-19 adalah contohnya di Indonesia. Lebih dari 200 jurnalis kehilangan pekerjaan antara tahun 2020 dan 2021, menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sebagian besar dari mereka tidak menerima pesangon, dan status hukum mereka tidak jelas. Kasus jurnalis lepas James Foley (2014) yang tewas di Suriah menunjukkan bahwa wartawan freelance tidak memiliki perlindungan yang cukup saat bekerja di lingkungan yang berpotensi berbahaya.
Kondisi kerja buruh media mencerminkan paradoks dalam industri yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan transparansi. Perlindungan hukum dan penerapan etika ketenagakerjaan yang tegas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa para pekerja media tidak menjadi korban eksploitasi yang dibungkus idealisme. Langkah ke depan mencakup penguatan regulasi ketenagakerjaan sektoral dan pemberdayaan serikat pekerja di lingkungan media.
Oleh : Fitri Nur ‘Aini Amimatussalma
No comments:
Post a Comment