Warta Journalizm - Industri media di Indonesia tumbuh dengan cepat seiring perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi. Namun, dibalik kemajuan tersebut, ada kejadian pahit yang jarang diketahui atau disadari, yakni tentang kondisi kerja buruh media yang kerap kali tidak aman. Buruh media yakni mereka yang bekerja di balik proses produksi media, mulai dari jurnalis, editor, kameramen, desainer, kontribusi lepas, hingga mahasiswa magang.
Indonesia sebenarnya sudah punya beberapa aturan hukum untuk melindungi pekerja media. Misalnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang membahas hak-hak yang mengatur hak-hak dasar pekerja, seperti jam kerja, upah minimum, dan keselamatan kerja. Lalu juga ada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers dan perlindungan bagi jurnalis saat menjalankan tugasnya. Diatas kertas memang aturan ini sudah cukup ideal namun kenyataanya dilapangan, banyak perusahaan media dan pemangku kepentingan lainnya tidak menjalankan aturan dengan sungguh-sungguh. Dari pemerintah juga masih kurang dalam mengawasi hal ini, sementara pekerja media takut mengadu karena khawatir jika nantinya mereka malah yang dipecat. Akibatnya, pelanggaran hak-hak pekerja terus terjadi tanpa adanya hukuman yang tegas. Aturan yang sejatinya melindungi malah hanya jadi pajangan, ada tapi tidak bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh para buruh media.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media di Indonesia sepanjang tahun 2023, yang merupakan jumlah tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media meliputi berbagai bentuk, mulai dari serangan fisik, ancaman, hingga tindakan hukum yang merugikan. Contoh-contoh kasus yang dilaporkan oleh AJI antara lain: Serangan terhadap jurnalis saat meliput aksi demonstrasi, Penyerangan kantor redaksi media, Penangkapan dan penganiayaan jurnalis, Penggugatan perdata terhadap media, Kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat negara terhadap jurnalis
Salah satu contoh nyata yang menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap buruh media yakni di 27 Maret 2021, Nurhadi seorang jurnalis investigasi dari tempo mendapatkan kekerasan fisik saat meliput kasus korupsi. Saat itu, Nurhadi sedang meliput kasus korupsi malah dipukuli oleh orang-orang yang diduga berkaitan dengan narasumber yang sedang ia cari. Padahal, dalam pasal 8 Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, jelas tertulis bahwa jurnalis harus mendapat perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya. Perlindungan ini mencakup jaminan bahwa wartawan memiliki perlindungan hukum sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Kasus yang dialami Nurhadi ini menunjukkan bahwa aturan yang ada belum cukup kuat saat dijalankan. Undang-Undang Pers memang sudah mengatur tentang perlindungan jurnalis, tapi pelaksanaannya masih lemah. Perusahaan media pun belum tentu sigap melindungi wartawannya. Dalam hal ini, Nurhadi adalah contoh nyata buruh media yang bekerja dengan risiko besar, tapi negara tidak mampu memberi perlindungan yang seharusnya ia dapatkan. Negara tampak bangga punya aturan, tapi saat jurnalis terancam, aturan itu seperti hilang arah. Janji perlindungan hanya terdengar indah di atas kertas, tapi pahit saat dijalankan di lapangan.
Kasus Nurhadi ini bukan cuma soal kekerasan terhadap individu, tapi menunjukkan bahwa aturan untuk melindungi buruh media masih dikatakan lemah dan belum dijalankan secara adil. Aturan memang sudah ada tapi hanya dijadikan hiasan dalam dokumen resmi. Perlindungan dilapangan? Seringkali absen. Semua pekerja media baik yang tetap maupun tidak seharusnya mendapat hak yang sama, bukan dibedakan karena status kerja. Polisi dan aparat hukum nampaknya menunggu viral dulu baru mau bergerak. Seolah-olah hukum perlu “izin trending” dulu sebelum dijalankan.
Banyak yang mengira bahwa bekerja di media itu keren muncul dilayar, bisa wawancara dengan tokoh penting dan kelihatan bebas. Tapi mereka lupa, dibalik layar ada buruh media, dibalik layar ada buruh media yang bekerja siang malam, dibayar tak sepadan, dan tak tahu kapan harus berhenti. Selama aturan hanya menjadi semacam “hiasan meja” dalam seminar atau pidato pejabat, buruh media akan terus diminta menjaga pilar demokrasi, sambil berdiri dipondasi yang memnag sudah retak. Memang ironis, ketika jurnalis diminta layang menyuarakan kebenaran, tapi ketika mereka disakiti, negara memilih diam atau sekedar hanya menggelengkan kepala saja. Perlindungan hukum bukan soal tercantum di pasal-pasal indah, tapi soal keberanian negara untuk tidak hanya mencatat, melainkan bertindak.
Semoga aturan yang sudah ada tak lagi hanya jadi hiasan, tapi benar-benar ditegakkan untuk melindungi buruh media. Semoga perjuangan buruh media dibalas dengan perlindungan nyata, bukan janji kosong. tapi dengan penghargaan dan perlindungan yang layak. Tanpa kalian, suara kebenaran bisa saja tenggelam dalam sunyi.
Oleh : Mohamad Bayu Bahtiar
No comments:
Post a Comment