Warta Journalizm - Regulasi dan etika memiliki peranan penting dalam hal mempertahankan relasi buruh media dan perusahaan media di Indonesia. Mengingat, UU No 40 Tahun 1999 mengenai Pers serta Kode Etik Jurnalistik oleh Dewan Pers secara khusus telah memberikan batasan hukum yang ‘payung’ hukum’ untuk pers dan kesejahteraan hukum yang memayungi aktifitas media. Ditegaskan dalam peraturan ini bahwa pers selaku institusi sosial, walaupun dalam konteks media, harus mempunyai fungsi jurnalistik yang dilakukan secara profesional dan bersifat independen. Serta beberapa hak-hak dari pekerja media khususnya wartawan, harus dalam bentuk peningkatan kesejahteraan dan perlindungan di tempat kerja.
Sejumlah kondisi diatas pada kenyataanya tidak sesuai dengan dihadapi buruh media pada umumnya, mereka memiliki banyak persoalan yang ekstrim, yang lebih sering disebut sebagai under class dalam pekerjaan modern. PHK secara besar-besaran, pemotongan upah sektor, dan eksploitasi dalam berbagai bentuk sekarang sudah menjadi hal yang umum. Yang memperparah situasi ini adalah Cipta Kerja yang banyak digunakan media untuk melakukan PHK dengan kredit jauh dibawah standar Dekrit Ketenagakerjaan. Peduli untuk membela hak-hak dasarnya, buruh media kurang kuat dan pengorganisasian serikat pekerja yang banyak terputus atau tidak terdengar dan berfungsi secara optimal.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa hukum dan etika memberikan perhatian yang tidak cukup terhadap pekerja media. Serikat pekerja media yang ada, misalnya, Serikat Pekerja Media Lintas (SPLM), hanya dapat membantu dalam sengketa, tetapi mereka tidak memiliki wewenang untuk menegosiasikan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang akan secara sistematis memperbaiki kondisi kerja. Oleh karena itu, organisasi lain seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) terus mendorong pekerja media untuk mendirikan serikat pekerja yang kuat yang diakui secara hukum untuk meningkatkan posisi tawar mereka guna mengakhiri eksploitasi.
Di luar aspek hukum, etika jurnalistik juga merupakan fokus perhatian utama. Mengingat independensi, akurasi, keseimbangan, dan hak asasi manusia – pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini merupakan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Melanggar prinsip-prinsip ini tidak hanya merugikan publik, tetapi juga berdampak pada lingkungan kerja pekerja media yang sudah dibebani oleh praktik korporasi yang tidak profesional. Oleh karena itu, perusahaan media harus mematuhi standar yang ditetapkan oleh Dewan Pers, yang mencakup, tetapi tidak terbatas pada, kesejahteraan dan perlindungan pekerja media, khususnya jurnalis perempuan yang menghadapi diskriminasi dalam cuti melahirkan dan perlindungan pasca-natal.
Kasus di lapangan seperti gelombang PHK masal dan rendahnya perlindungan mungkin ancaman serius pada regulasi dan etika di industri media. Seperti halnya yang dikemukakan pemerintah dan Dewan Pers, ada upaya yang mesti dilakukan untuk mengakhiri pelanggaran norma pada eksploitasi tenaga kerja media. Normalisasi perilaku abnormal pada industri media tidak saja berakibat pada kerugian pekerja, namun juga merusak ujung-ujungnya berujung pada ancaman dalam suatu demokrasi, sebab akan meratanya profesionalisme serta daya saing karya jurnalistik yang dipublikasikan atau diterbitkan.
Hal ini menunjukkan bahwa aspek regulasi dan etika perlu bersinergi selama pengaturan dilakukan dengan mempertahankan keadilan dalam bekerja, serta profesionalisme dalam industri media. Peningkatan pengorganisasian serikat buruh, mengedepankan penegakan hukum, komitmen lembaga media pada pemberian citra etika media, kesehatan mental serta kesejahteraan bukanlah pekerjaan lain, melainkan menjadi kunci solusi utama dari segala persoalan yang dihadapi pekerja media di Indonesia.
Oleh: Farah Azka Naharina dan Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I.
No comments:
Post a Comment