Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Menjadi Muslim yang Santun di Dunia Digital: Meneladani Komunikasi Profetik Nabi Muhammad

1. Pendahuluan: Dunia Digital, Dunia Tanpa Batas

Dalam beberapa tahun terakhir, ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Muslim. Hampir setiap aktivitas—dari berdakwah, berdiskusi, hingga belajar agama—beralih ke layar gawai. Media sosial seperti Instagram, X (Twitter), TikTok, dan YouTube kini menjadi mimbar baru bagi banyak orang untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman. Namun di tengah derasnya arus informasi, kita juga menyaksikan fenomena yang memprihatinkan: meningkatnya ujaran kebencian, perdebatan toksik, fitnah, dan penghinaan atas nama agama. Berdasarkan laporan Digital Civility Index tahun 2023 yang dirilis Microsoft, tingkat kesopanan digital masyarakat Indonesia berada di peringkat bawah di kawasan Asia Tenggara, dengan tingginya kasus hate speech dan misinformasi di media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu diiringi oleh kematangan etika komunikasi. Ironisnya, sebagian besar ujaran kebencian yang beredar justru datang dari mereka yang mengatasnamakan “dakwah” atau “amar ma’ruf nahi munkar”. Pesan keagamaan sering dikemas dengan nada marah, menyalahkan, bahkan merendahkan kelompok lain. Padahal, Islam mengajarkan bahwa menyampaikan kebenaran harus dilakukan dengan kebijaksanaan dan kelembutan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125). Ayat ini menegaskan bahwa hikmah dan kelembutan adalah esensi dari komunikasi profetik. Nabi Muhammad ï·º bukan hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga mencontohkan bagaimana berbicara, menulis, dan bertindak dengan adab yang tinggi—bahkan kepada mereka yang memusuhinya. 


2. ISI

a. Teladan Nabi Muhammad SAW dalam Komunikasi

Nabi Muhammad SAW adalah komunikator ilahi yang paling sempurna. Beliau tidak hanya menyampaikan pesan wahyu, tetapi juga memperhatikan cara penyampaiannya agar menyentuh hati. Al-Qur’an menggambarkan kelembutan Nabi dalam firman Allah: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri darimu. Ayat ini menegaskan bahwa komunikasi yang keras dan penuh amarah tidak akan membawa perubahan, sementara kelembutan dan kasih sayang justru menumbuhkan kepercayaan. Dalam peristiwa di Thaif, ketika Nabi dihina dan dilempari batu, beliau tidak membalas dengan kutukan, melainkan berdoa agar keturunan mereka kelak mendapat hidayah. Sikap ini mencerminkan hakikat komunikasi profetikmenyampaikan kebenaran tanpa kehilangan kasih. 


b. Dunia Digital dan Krisis Akhlak Komunikasi Era media sosial.

Dunia Digital dan Krisis Akhlak Komunikasi Era media sosial telah mengubah setiap individu menjadi komunikator publik. Kini, setiap orang dapat menulis, mengunggah, dan menyebarkan pesan yang bisa menjangkau jutaan pengguna. Namun, tanpa nilai profetik, ruang digital berubah menjadi medan kebisingan tanpa kedalaman moral. Menurut Onong Uchjana Effendy, komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga usaha menciptakan saling pengertian dan rasa percaya antara pengirim dan penerima pesan. Jika komunikasi justru menimbulkan perpecahan, berarti ia telah kehilangan makna spiritualnya. Sayangnya, banyak yang menggunakan media sosial untuk menegakkan kebenaran dengan cara yang kasar dan merendahkan. Hal ini bertentangan dengan pesan Rasulullah ï·º: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Hadis ini menjadi pedoman etis dalam berkomunikasi di dunia digital. Seorang Muslim seharusnya memastikan bahwa setiap kata yang ia tulis atau ucapkan tidak menimbulkan kerusakan sosial maupun batiniah.


c. Menjadi Muslim yang Santun di Dunia Digital

Meneladani komunikasi profetik di dunia maya berarti menghadirkan nilai-nilai kenabian dalam setiap aktivitas daring. Beberapa langkah sederhana berikut dapat menjadi panduan moral: Berpikir sebelum menulis. Nabi mengajarkan bahwa setiap kata adalah amanah. Pastikan pesan membawa manfaat dan tidak menyakiti orang lain. Gunakan bahasa yang lembut dan penuh hikmah. Kritik boleh, tetapi harus disampaikan dengan adab dan fakta, bukan dengan emosi. Sebarkan kebaikan dan ilmu yang mencerahkan. Jadikan media sosial sebagai ladang pahala dengan berbagi pengetahuan, inspirasi, dan nilai kemanusiaan. Tegakkan kejujuran digital. Verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Islam melarang menyebar kabar yang belum pasti kebenarannya. Niatkan setiap komunikasi sebagai ibadah. Komunikasi profetik berangkat dari niat yang suci bahwa setiap kata adalah bentuk pengabdian kepada Allah.


d. Komunikasi Profetik dan Moderasi Islam

Media sosial sering kali menjadi medan polarisasi dan ujaran kebencian antar kelompok keagamaan. Dalam situasi ini, komunikasi profetik berperan sebagai jalan moderasi.

Ia mengajarkan bahwa berdakwah bukan berarti memaksakan kebenaran, tetapi mengajak dengan kasih. Menurut Nur Syam, komunikasi profetik dapat menjadi strategi Islam moderat dalam membangun ruang publik yang inklusif, dialogis, dan damai. Dakwah yang profetik tidak mengejar sensasi atau popularitas, melainkan membentuk kesadaran dan kedewasaan spiritual masyarakat.


3. Penutup: Dari Akhlak ke Klik

Dunia digital adalah cermin akhlak kita. Setiap komentar, like, dan share mencerminkan nilai yang kita anut. Bila seorang Muslim benar-benar mencintai Nabi Muhammad ï·º, maka ia harus meneladani akhlak komunikasinya baik di dunia nyata maupun dunia maya. Komunikasi profetik mengajarkan bahwa kekuatan bukanlah pada seberapa keras kita berbicara, tetapi pada seberapa dalam makna yang kita sampaikan.

Menjadi Muslim yang santun di dunia digital berarti menghidupkan kembali misi kenabian: menyampaikan kebenaran dengan kelembutan, membimbing dengan cinta, dan menuntun manusia menuju kemanusiaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an, Surah Ali Imran [3]: 159.

Effendy, Onong Uchjana. (2005). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Syam, Nur. (2019). “Komunikasi Profetik dalam Era Digital.” Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 9, No. 1.

Syam, Nur. (2020). “Komunikasi Profetik dan Dakwah Moderat di Era Digital.” Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, Vol. 10, No. 2. https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=http://repositori.uin-alauddin.ac.id/29653/1/80800221012_ASWAR.pdf&ved=2ahUKEwiIooTn86GQAxV21TgGHWwPB5YQFnoECDEQAQ&usg=AOvVaw30C4z8iRrGXMZQeAXpI6Tf 



Oleh: Satria Ilham Saputra

No comments:

Post a Comment