Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Eksploitasi Buruh Media dan Erosi Nilai Etika dalam Dunia Jurnalistik

Warta Journalizm - Di tengah derasnya arus perkembangan industri media yang semakin kompleks dan dinamis, para pekerja yang berada di balik layar kerap sering kali menghadapi tekanan yang berat, ketidakpastian status kerja, dan ketimpangan perlindungan hak. Ironisnya, media yang setiap hari menyuarakan ketidakadilan sosial dan membela hak-hak kaum lemah, justru menyimpan praktik ketidakadilan terhadap para jurnalis dan pekerjanya sendiri. Eksploitasi terhadap buruh media tidak hanya dapat dipahami sebagai persoalan manajerial internal, melainkan merupakan wujud nyata dari krisis etika dan pelanggaran terhadap regulasi ketenagakerjaan yang berlaku.

Bentuk eksploitasi tidak selalu bersifat kasat mata. Dalam banyak kasus, eksploitasi hadir dalam rupa lembur tanpa kompensasi, jam kerja yang jauh melebihi batas wajar, serta beban kerja yang berat dalam tenggat waktu yang sangat ketat. Beberapa pekerja media bahkan harus menyediakan peralatan kerja secara mandiri, menanggung biaya peliputan, dan tidak mendapatkan asuransi ketika mengalami risiko saat bertugas. Semua ini mencerminkan adanya dehumanisasi dalam sistem kerja media yang menomorduakan kesejahteraan pekerja demi efisiensi produksi.

Banyak media, terutama yang memanfaatkan tenaga kerja lepas seperti freelancer, kontributor daerah, atau pekerja kontrak jangka pendek sering kali tidak dilindungi oleh sistem pengupahan tetap, tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan bekerja tanpa kepastian hukum yang jelas. Padahal, kontribusi mereka sangat signifikan dalam produksi konten dan distribusi informasi yang menjadi konsumsi publik.

Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers menempatkan nilai-nilai integritas, independensi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai fondasi utama dalam praktik jurnalistik. Akan tetapi, pelaksanaan nilai-nilai luhur tersebut menjadi semakin sulit ketika para jurnalis dihadapkan pada realitas pekerjaan yang rapuh dan penuh tekanan. Ketika seorang jurnalis harus memilih antara memberitakan fakta secara utuh atau mempertahankan pekerjaannya, maka integritas pun rentan dikompromikan.

Secara normatif, kerangka hukum ketenagakerjaan di Indonesia telah menetapkan berbagai perlindungan bagi para pekerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan revisinya melalui Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) memberikan jaminan atas hak-hak mendasar seperti jam kerja yang manusiawi, upah minimum, hak cuti, serta mekanisme perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Selain itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga menegaskan bahwa pekerja pers berhak atas perlindungan hukum dan kesejahteraan sebagai bagian dari kemerdekaan pers.

Namun, kesenjangan antara regulasi dan realitas di lapangan kerap terjadi. Buruh media di berbagai wilayah Indonesia masih dieksploitasi perusahaan media. Hasil riset AJI pada Februari-April 2023 menemukan hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimum. Bahkan belasan persen lainnya menyatakan upah mereka tidak menentu atau mendapat upah dari komisi iklan.

Riset AJI yang melibatkan 428 jurnalis di berbagai daerah ini juga menemukan akalakalan perusahaan dalam perjanjian kerja. Sebanyak 52,6 persen jurnalis jurnalis memiliki hubungan kerja waktu tertentu atau kontrak dan 11,2 persen perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau tetap. Namun, jurnalis dengan status pekerja tetap tersebut tidak mendapat upah bulanan, melainkan mendapatkan upah berdasarkan satuan hasil atau jumlah berita yang tayang. Artinya hak mereka tidak berbeda dengan jurnalis atau pekerja kontrak.

Riset AJI juga menunjukkan penghormatan dan perlindungan terhadap hak perempuan masih sangat rendah. Hanya ada 11,2 persen perempuan yang mendapat hak cuti dengan upah dibayarkan ketika haid pada hari pertama dan kedua. Ketika melahirkan, sebagian jurnalis perempuan menyebutkan tidak bekerja dan tidak mendapat upah. Tapi ada pula perusahaan media yang meminta perempuan tidak bekerja saat melahirkan.

Belum lagi gelombang PHK yang dialami ribuan buruh media sejak pandemi Covid-19 hingga 2024 ini. Ironisnya, media yang kerap mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang merugikan buruh media, justru menggunakan undang-undang tersebut untuk PHK buruh media. Akibatnya PHK terhadap buruh media mudah dilakukan perusahaan media dengan nilai pesangonnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan UndangUndang Ketenagakerjaan. Buruh media juga tidak berdaya menghadapi PHK, pemotongan upah, dan berbagai kasus ketenagakerjaan lainnya.

Di sisi lain, tidak banyak buruh media yang mengalami PHK atau kasus ketenagakerjaan mau memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapat pesangon, uang pisah, atau uang penghargaan. Ini terlihat dari jumlah korban yang melapor ke lembaga bantuan hukum seperti LBH Pers.

Buruh media juga tidak memiliki wadah untuk berjuang. Data federasi serikat pekerja media (FSPM) Independen pada 2015 terdapat 40 serikat pekerja media di Indonesia. Namun, tidak banyak serikat pekerja media yang aktif. Hanya sebagian yang masih menggelar rapat pengurus secara rutin, penarikan iuran anggotanya tidak berjalan, dan tidak memiliki sekretariat. Akibatnya serikat-serikat ini pada umumnya aktif ketika terjadi PHK atau sengketa ketenagakerjaan di perusahaan media.

Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan langkah bersama dari negara, industri media, organisasi profesi, dan publik. Pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap implementasi regulasi ketenagakerjaan di sektor media, termasuk dengan menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang melanggar standar perlindungan pekerja. Selain itu, perusahaan media perlu merefleksikan ulang komitmen etisnya sebagai institusi sosial. Tidak mungkin media menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan dunia usaha lain apabila mereka sendiri mengabaikan hak-hak dasar pekerjanya.

Peran organisasi seperti AJI, Serikat Pekerja Media, dan Forum Jurnalis Freelance sangat strategis dalam mengadvokasi hak pekerja serta menciptakan ruang diskusi dan solidaritas antarsesama buruh media. Namun, dukungan publik juga tidak kalah penting. Konsumen media yang sadar akan pentingnya jurnalisme berkualitas dan adil dapat memberikan tekanan moral dan ekonomi agar media-media memperbaiki sistem kerja internal mereka. Transparansi, keberpihakan terhadap kesejahteraan pekerja, dan keberanian untuk mereformasi sistem manajemen harus menjadi prioritas.

Praktik eksploitasi terhadap pekerja media mencerminkan kerusakan sistemik yang tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga mengguncang prinsip dasar etika dan standar profesional dunia jurnalistik. Ketidakadilan terhadap pekerja media dapat memengaruhi integritas hasil liputan mereka, yang pada akhirnya melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi media. Maka, sudah seharusnya semua pihak mendorong perwujudan regulasi yang efektif, menghidupkan kembali nilai-nilai etika di ruang redaksi, serta membangun ruang kerja yang aman, manusiawi, dan berkelanjutan bagi seluruh pekerja media.

oleh : Indah Shoniatul Husna

No comments:

Post a Comment