Warta Journalizm - Kalau dengar kata "media", pikiran kita mungkin langsung ke hal-hal keren: jurnalis yang keliling liputan, kerja di balik layar TV, atau bikin berita viral. Tapi kenyataannya, banyak buruh media yang kerja mati-matian justru nggak dapet perlindungan yang sebanding sama risiko kerjanya. Padahal mereka termasuk garda terdepan dalam menyampaikan informasi ke publik.
Aturan soal ini sebenarnya udah ada, kayak UU Ketenagakerjaan dan UU Pers. Tapi kenyataannya di lapangan, banyak jurnalis yang status kerjanya nggak jelas ada yang udah kerja bertahun-tahun tapi tetap dianggap freelance, nggak dapet asuransi, nggak punya jaminan keselamatan, dan bisa kena PHK sewaktu-waktu. Ini masih jadi masalah besar di banyak media, baik nasional maupun lokal.
Contoh kasusnya ada banyak. Salah satunya yang cukup ramai adalah kasus Nurhadi, jurnalis di Surabaya yang sempat disiksa saat lagi liputan kasus korupsi. Dia cuma menjalankan tugas jurnalistik, tapi malah jadi korban kekerasan. Sayangnya, kasus kayak gini bukan hal baru. Masih banyak jurnalis lain yang mengalami hal serupa tapi nggak mendapat keadilan.
Selain itu, ketika buruh media berusaha memperjuangkan hak lewat serikat pekerja, malah ada perusahaan yang melakukan union busting alias pemberangusan serikat. Ini bentuk ketidakadilan yang cukup mengkhawatirkan, karena serikat itu sebenarnya alat buat memperjuangkan hak bareng-bareng secara kolektif.
Intinya, aturan itu memang penting, tapi pelaksanaannya harus nyata. Pemerintah dan perusahaan media harus benar-benar memastikan pekerja medianya punya perlindungan dan kesejahteraan yang layak. Karena tanpa buruh media, informasi yang kita terima juga bakal pincang. Sebagai mahasiswa, kita juga perlu peka dan kritis terhadap isu ini karena siapa tahu, besok lusa kita juga terjun ke dunia kerja yang situasinya mirip-mirip.
Oleh: Sarah Nadya Faridah Salsabila dan Primi Rohimi, S. Sos. M. S. I.
No comments:
Post a Comment