Warta Journalizm

Warta Journalizm KPI IAIN Kudus

Post Page Advertisement [Top]

Menjadi Muslim Melek Media: Menghidupkan Etika Tabayyun di Tengah Banjir Informasi Digital

1. PENDAHULUAN: Banjir Informasi dan Krisis Etika di Dunia Maya

Media sosial hari ini telah menjadi arus utama (mainstream) dalam kehidupan umat Islam modern. Dari dakwah hingga debat keagamaan, semuanya berlangsung di ruang digital. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa media sosial juga menjadi ladang subur bagi penyebaran disinformasi dan hoaks, terutama yang mengatasnamakan agama. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% konten hoaks di Indonesia bersumber dari isu keagamaan dan sosial.

Tingginya penyebaran berita palsu ini menandakan bahwa sebagian umat belum menginternalisasi nilai tabayyun dalam bermedia. Dalam konteks ini, nilai-nilai komunikasi profetik yakni amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minūna billāh harus kembali ditegakkan, khususnya dalam dunia digital yang tanpa batas Fenomena ini tidak hanya memengaruhi cara kita mengonsumsi informasi, tetapi juga membentuk pola pikir, sikap sosial, dan bahkan keyakinan beragama. Dalam konteks inilah, nilai-nilai komunikasi profetik menjadi sangat relevan untuk diaktualisasikan. Salah satu prinsip utamanya adalah tabayyun atau verifikasi informasi sebelum menyebarkannya.


2. ISI: Menggali Makna Tabayyun dalam Komunikasi Profetik

a. Komunikasi Profetik: Warisan Etika dari Para Nabi

Konsep komunikasi profetik berakar pada misi kenabian sebagaimana tergambar dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran [3]: 110, yaitu menyuruh kepada yang ma‘rūf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dalam perspektif sosiolog Prof. Kuntowijoyo, hal ini dikenal sebagai trilogi Ilmu Sosial Profetik: humanisasi (amar ma‘rūf), liberasi (nahy al-munkar), dan transendensi (tu’minūna billāh). Ketiganya menjadi fondasi bagi setiap Muslim dalam berkomunikasi secara etis, adil, dan transformatif.

Komunikasi bukan lagi sekadar penyampaian pesan, melainkan sarana perubahan sosial yang menjunjung nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Dalam konteks bermedia sosial, pendekatan ini dapat membimbing umat Islam agar tidak terjebak dalam budaya “asal sebar” yang menyesatkan dan merusak.

b. Tabayyun: Perintah Ilahi yang Terlupakan

Istilah komunikasi profetik mengacu pada konsep komunikasi yang berakar dari misi kenabian: membawa pesan kebenaran, keadilan, dan transformasi sosial. Konsep ini tidak hanya relevan dalam ruang dakwah tradisional, tetapi juga penting di era media digital yang penuh kontestasi narasi. Kuntowijoyo mengembangkan kerangka Ilmu Sosial Profetik yang mengintegrasikan agama dengan pembebasan sosial dan kesadaran spiritual.

Dalam komunikasi profetik, informasi bukan semata-mata data, melainkan amanah. Setiap ujaran harus memperhatikan dimensi etik, dampak sosial, dan orientasi transendental. Maka, menyebarkan informasi tanpa tabayyun adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip ini.

Salah satu ayat fundamental terkait verifikasi informasi adalah QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (fatabayyanū), agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu."

Ayat ini bukan sekadar imbauan, tetapi perintah yang bersifat etis dan preventif. Dalam konteks kontemporer, istilah "orang fasik" bisa merujuk pada sumber informasi yang tidak kredibel akun anonim, portal berita abal-abal, atau influencer yang gemar memelintir fakta.

Tabayyun adalah bentuk tanggung jawab intelektual dan moral. Ia melibatkan proses klarifikasi, pencarian kebenaran, dan kesadaran akan dampak sosial dari sebuah informasi. Tabayyun menghindarkan umat dari dua keburukan sekaligus penyebaran kebohongan dan tindakan destruktif akibat informasi salah.

c. Realitas Krisis Etika di Dunia Maya

Krisis etika dalam media sosial tidak hanya soal teknologi, tetapi juga minimnya kesadaran moral. Banyak pengguna yang menyebarkan informasi karena emosi, tanpa mengecek kebenarannya. Ini bertentangan dengan semangat dakwah Islam yang penuh hikmah dan kesabaran.

Penelitian menunjukkan bahwa pengguna media sosial Muslim Indonesia masih minim dalam memahami bahwa menyebarkan informasi adalah tindakan etis yang punya konsekuensi hukum agama dan sosial. Padahal dalam maqāṣid al-syarī‘ah, menjaga akal, agama, dan kehormatan menjadi tujuan utama. Menyebarkan hoaks berarti merusak ketiganya sekaligus.

Untuk itu, diperlukan pendekatan komunikasi profetik berbasis etika verifikasi. Komunikasi bukan hanya soal menyampaikan, tetapi juga soal bagaimana menyampaikan dengan benar, dalam konteks yang tepat, dan demi kemaslahatan. 

d. Dari Literasi Digital ke Literasi Moral: Tanggung Jawab Muslim Melek Media

Dalam konteks dakwah dan komunikasi keislaman, tabayyun harus dilihat sebagai bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah tujuan syariat Islam yakni menjaga agama, akal, dan jiwa. Menyebarkan hoaks, fitnah, atau berita tidak benar tidak hanya mencederai etika Islam, tetapi juga bisa merusak persatuan umat, menimbulkan keresahan, bahkan mengancam kehidupan sosial secara luas.

Sebagai bagian dari misi profetik, setiap Muslim seharusnya menjadi agen penyebar kebaikan dan kebenaran di ruang digital. Artinya, literasi media harus ditingkatkan menjadi literasi moral. Ini bukan hanya soal tahu cara menggunakan teknologi, tetapi tahu bagaimana menggunakan teknologi dengan etis dan bertanggung jawab.

Berikut beberapa praktik tabayyun digital yang dapat diterapkan secara konkret:

1. Periksa kredibilitas sumber informasi. Jangan mudah percaya pada akun atau situs yang tidak memiliki track record jelas.

2. Cek waktu dan konteks. Banyak berita lama yang dibagikan ulang tanpa memperhatikan relevansinya.

3. Baca konten secara menyeluruh. Jangan hanya membaca judul atau cuplikan.

4. Gunakan alat bantu pengecekan fakta. Seperti turnbackhoax.id, cekfakta.com, atau aplikasi Google Fact Check.

5. Tahan jempol, pikirkan dampak. Tanyakan pada diri sendiri sebelum membagikan sesuatu: “Apakah ini benar? Apakah ini perlu? Apakah ini baik?”

e. Menghidupkan Komunikasi Profetik dalam Budaya Digital

Etika tabayyun bukanlah konsep usang yang hanya berlaku di masa Nabi. Ia adalah prinsip universal dan lintas zaman. Dalam era media sosial yang serba cepat, prinsip ini menjadi pelindung umat dari bahaya informasi yang menyesatkan dan alat untuk membangun ruang publik digital yang lebih sehat, bermartabat, dan berlandaskan nilai-nilai Islam.

Aktualisasi komunikasi profetik membutuhkan dukungan dari semua pihak pendidik, ulama, tokoh agama, aktivis digital, dan tentu saja, masyarakat pengguna internet. Pendekatan ini bisa dijadikan kerangka etik dalam pendidikan digital, kurikulum pesantren, dakwah daring, hingga kebijakan publik terkait literasi informasi.


3. PENUTUP: Dari Klik Menuju Amal Saleh Digital

Era digital adalah karunia sekaligus ujian. Ia memberi kesempatan luas untuk berdakwah dan menyuarakan nilai-nilai Islam, tetapi juga membuka celah besar bagi disinformasi dan fitnah. Dalam situasi ini, prinsip tabayyun menjadi benteng moral dan intelektual yang harus terus dihidupkan.

Komunikasi profetik tidak hanya mengajarkan apa yang harus dikatakan, tetapi juga bagaimana, kapan, dan kepada siapa sesuatu harus dikatakan dengan hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujādalah bi al-latī hiya aḥsan (berdialog dengan cara terbaik). Semoga kita menjadi bagian dari komunitas Muslim yang melek media, bermoral digital, dan berjiwa profetik.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, S. (2021). Tabayyun digital dalam dakwah media sosial: Telaah perspektif komunikasi Islam. Komunika: Media Komunikasi Dakwah, 15(2), 275–290. 

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi dan etika. Tiara Wacana.

Mulyadi, D. (2022). Hoaks keagamaan dan polarisasi sosial: Analisis wacana media sosial. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 6(1), 15–30.

Nurhayati, D. (2021). Konsep komunikasi profetik dalam perspektif ilmu sosial Islam. Jurnal Studi Islam dan Sosial, 5(2), 112–128.

Rachmawati, A., & Nisa, F. (2020). Etika bermedia sosial bagi remaja Muslim di era digital. Jurnal Ilmu Komunikasi Islam, 3(1), 51–67.




Oleh:  M. Jecky Maulana Zakaria





No comments:

Post a Comment