Warta Journalizm - Krisis makna dan moralitas dalam praktik ilmu sosial dan tata kelola publik menjadi masalah nyata di banyak negara, termasuk Indonesia. Paradigma positivistik yang memisahkan fakta dari nilai serta memprioritaskan efisiensi teknokratis kerap menghasilkan kebijakan dan praktik pendidikan yang efektif secara instrumen, tetapi melemahkan dimensi etis, kemanusiaan, dan spiritual. Ilmu sosial seharusnya tidak hanya berfokus pada pengumpulan data dan analisis faktual semata, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai moral dan etika yang mendasarinya. Contoh, dalam penelitian tentang kejahatan seksual, tidak cukup hanya melihat data statistik tentang jumlah kasus yang terjadi, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai moral dan etika yang mendasari tindakan tersebut, seperti hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Dengan memperhatikan nhal tersebut, dapat menghindari kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam pengumpulan data dan analisisnya. Selain itu, memperhatikan nilai-nilai moral dan etika juga dapat membantu seseorang untuk memperhatikan dampak sosial daripenelitiannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan ilmu sosial yang memperhatikan nilai-nilai moral dan etika adalah penting dalam menghasilkan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat dan bertanggungjawab secara moral.
Dalam konteks inilah gagasan Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang menekankan integrasi antara analisis ilmiah dan nilai-nilai profetik kembali relevan sebagai alternatif kerangka berpikir yang normatif dan transformasional. Kajian-kajian mutakhir menunjukkan bahwa pemikiran profetik Kuntowijoyo dan reaktualisasinya menjadi rujukan penting untuk rekonstruksi kebijakan publik dan pendidikan yang berorientasi pada kemaslahatan. Hal ini karena Kuntowijoyo dianggap sebagai sosok yang memiliki gagasan profetik yang dapat dijadikan dasar dalam membumikan ilmu sosial profetik.
Menurut rumusan Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik menetapkan tiga nilai penting sebagai pijakan yang membentuk karakter paradigmatiknya. Tiga nilai penting tersebut adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dasar dari ilmu sosial profetik itu terangkum dalam isi Q.S. Ali Imran [3]: 110, yang berbunyi:
"Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini dapat dijadikan dasar bagi ilmu sosial profetik karena menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dan memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif dalam mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran dalam masyarakat. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan pentingnya iman kepada Allah dalam menjalankan peran tersebut. Ilmu sosial profetik juga mengandung makna bahwa agama Islam memiliki pandangan yang utuh dan holistik tentang kehidupan manusia, termasuk dalam hal sosial dan budaya. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita harus berupaya memahami ajaran agama secara menyeluruh dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial dan budaya sehari-hari.
Ilmu Sosial Profetik: Inti dan urgensi rekontekstualisasi.
Ilmu Sosial Profetik mengusulkan bahwa ilmu sosial bukan hanya alat penjelasan, melainkan juga instrumen transformasi moral berbasis tiga dimensi utama: humanisme, liberasi, dan transendensi. Gagasan ini direaktualisasi dalam literatur terbaru sebagai upaya mengatasi dehumanisasi pendidikan dan mengarahkan kebijakan publik menuju keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi ekonomi.
Rekontekstualisasi ISP dalam Kebijakan Publik
Menerapkan ISP pada kebijakan publik berarti merumuskan tujuan bersama yang tidak hanya mengukur sukses melalui angka ekonomi tetapi juga melalui indikator kemanusiaan, seperti kualitas hidup, martabat, partisipasi rakyat, dan keadilan distribusi. Konsepsi profetik menuntut kebijakan yang berpihak, memberdayakan komunitas, dan menempatkan birokrasi sebagai pengelola amanah, bukan sekadar pemegang wewenang teknis. Literatur kontemporer menyarankan beberapa langkah praktis, seperti memasukkan tujuan etis dalam kerangka evaluasi kebijakan, mengintegrasikan partisipasi berbasis komunitas dalam perancangan program, serta membangun mekanisme akuntabilitas yang menegakkan nilai-nilai integritas dan pelayanan publik. Upaya semacam ini telah diusulkan dan diuji dalam studi-studi kebijakan dan tata kelola yang mengadopsi pendekatan profetik atau nilai-nilai serupa.
Rekontekstualisasi ISP dalam Pendidikan
Di ranah pendidikan, rekontekstualisasi ISP menuntut transformasi kurikulum, peran pendidik, dan praktik pembelajaran. Kurikulum harus menggabungkan kompetensi kognitif dengan literasi etika dan kemampuan aksi sosial, mencetak lulusan terampil,beradab, dan peduli sosial. Pembelajaran yang efektif adalah dengan membentuk pembelajaran yang inovatif dan adaptif dengan zaman modern, sehingga menghasilkan pelajar yang moderat, kritis, dan siap menghadapi berbagai tantangan di era global. Peran tenaga pendidik kini beralih dari “pengantar materi” menjadi ”teladan profetik”, yakni pembentuk karakter, fasilitator pemberdayaan komunitas, dan agen perubahan. Model pembelajaran berbasis aksi, seperti proyek pengabdian masyarakat, pembelajaran partisipatoris, dan kajian masalah nyata merupakan bentuk konkret penguatan dimensi humanisasi dan liberasi dalam praktik pendidikan. Sejak tahun 2020 berbagai penelitian dan pengalaman institusional merekomendasikan integrasi nilai-nilai profetik ke dalam pembelajaran kewargaan, studi sosial, dan pendidikan agama untuk merespons problem dehumanisasi pendidikan modern.
Tantangan implementasi dan catatan kritis
Meski menjanjikan, orientasi profetik terdapat tantangan, yakni resistensi dari tradisi akademik yang kuat menganut netralitas nilai dapat menghambat adopsi norma-norma profetik, risiko politisasi agama harus diantisipasi agar nilai transendental tidak dipakai untuk eksklusivitas atau pembenaran kepentingan kelompok, kapasitas institusional termasuk kompetensi birokrasi dan tenaga pendidik perlu ditingkatkan agar transformasi tidak sekadar retorika. Oleh karena itu, rekontekstualisasi perlu disertai mekanisme penjaminan mutu normatif, dialog lintas-pihak, dan desain indikator evaluasi yang jelas (kualitatif dan kuantitatif) untuk menilai dampak etis dan sosial dari kebijakan dan praktik pendidikan profetik. Studi-studi terbaru memberikan pedoman praktis untuk meminimalkan risiko tersebut melalui pendekatan inklusif, akuntabel, dan berbasis bukti.
Menuju paradigma Ilmu Sosial Profetik adalah upaya rekonseptualisasi ilmu dan praktik sosial agar ilmu menjadi instrumen pemanusiaan menggabungkan rasionalitas ilmiah dengan kecerdasan etis dan spiritual. Rekontekstualisasi ISP dalam kebijakan publik menuntut orientasi pro-kemanusiaan, akuntabilitas moral, dan pemberdayaan partisipatoris. Dalam pendidikan, ISP menuntut kurikulum yang membentuk karakter, pendidik sebagai teladan profetik, serta praktik pembelajaran yang terhubung langsung dengan permasalahan sosial nyata. Untuk menjadikan gagasan ini bukan sekadar ideal normatif, diperlukan dialog antar-disipliner, kebijakan transformatif, dan komitmen institusional yang serius, serta evaluasi berkelanjutan berbasis bukti. Tugas selanjutnya adalah mentransformasikan rekomendasi itu menjadi kebijakan dan praktik nyata yang berkelanjutan.
REFERENSI
Anwar, Alfiansyah., dkk. ”ANALISIS PARADIGMA ILMU SOSIAL PROFETIK(Tela’ah Pemikiran Kuntowijoyo).” SHOUTIKA: Jurnal Studi Komunikasi dan Dakwah 3, no. 2 (2023): 23-45.
Habibah dan Sholikhah. "Pendidikan Profetik Di Dusun Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta.” Seminar Nasional Sistem Informasi 2018 Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang (Agustus 2018).
Muthahari, Ali., dan Aden, Wijdan Syarif Zaidan. ” Rekontekstualisasi Pembelajaran Kitab Kuning dalam Mendorong Pendidikan Islam Moderat dan Berwawasan Global: Studi Kasus di Aqobah International School.” At-Thullab: Jurnal Mahasiswa FIAI-UII At-Thullab 6, no. 2 (2024): 1638-1648.
QS. Ali Imran (3): 110.
Syaefudin, Fahmi., dan Maksudin. “Mengaplikasikan Ilmu Sosial Profetik dalam Pendidikan Islam.” AL-QALAM: Jurnal Kajian Islam & Pendidikan 15, no. 1 (2023): 21-29.
Wulansari dan Khotimah. "Membumikan Ilmu Sosial Profetik: Reaktualisasi Gagasan Profetik Kuntowijoyo dalam Tradisi Keilmuwan di Indonesia." Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim 7, no. 2 (2019).
Oleh: Vivita Salsabilla
No comments:
Post a Comment