Warta Journalizm - Purwosari - Suasana Sabtu pagi, 31 Mei 2025, di SD Negeri 1 Purwosari tampak sedikit berbeda. Sejak pukul 08.00, sebanyak 28 siswa kelas VI duduk rapi di ruang kelas yang disulap menjadi aula kecil. Mereka bukan sedang menghadapi ujian atau belajar matematika. Pagi itu, mereka mengikuti penyuluhan bertema “Kenali Media, Pahami Etika, Hindari Masalah!”
Penyuluhan berdurasi satu jam ini mengangkat isu-isu penting yang semakin relevan di era digital: hukum media, etika bermedia sosial, hoaks, dan cyberbullying. Materi disampaikan dengan gaya santai dan komunikatif, menyesuaikan dengan usia para peserta. Interaksi antara pemateri dan siswa berlangsung aktif, diselingi tanya jawab ringan yang memancing diskusi kecil di antara anak-anak.
Penyuluhan ini diselenggarakan oleh M. Wendy Aditya Johansyah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kudus. Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas akhir semester (UAS) dalam mata kuliah Hukum dan Etika Media Massa, di bawah bimbingan dosen Primi Rohimi, S.Sos., M.S.I. Pilihan lokasi di SD 1 Purwosari menjadi bagian dari upaya memperkenalkan literasi digital secara langsung kepada kelompok usia yang paling rentan dalam penggunaan media sosial.
“Media itu seperti pisau. Bisa berguna, tapi bisa juga melukai kalau tidak tahu cara menggunakannya,” ujar Wendy di hadapan para siswa. Mereka pun diperkenalkan pada perbedaan antara hukum, sebagai aturan yang wajib diikuti, dan etika, sebagai tanggung jawab moral dalam berperilaku di media massa. Dalam penjelasannya, Wendy menekankan pentingnya berpikir sebelum mengunggah sesuatu, terutama yang menyangkut orang lain.
Antusiasme terlihat ketika pembahasan masuk ke topik cyberbullying. Banyak siswa mengangguk saat dijelaskan bahwa mengejek teman di komentar TikTok atau menyebarkan foto tanpa izin adalah bentuk perundungan digital. Tak sedikit yang tampak terkejut mengetahui bahwa tindakan semacam itu bisa berdampak hukum. Beberapa siswa bahkan berbagi pengalaman pribadi mereka menggunakan media sosial, yang kemudian dijadikan contoh dalam diskusi.
Tak kalah penting, sesi ini juga membahas tentang hoaks. Anak-anak diajak untuk tidak mudah percaya pada pesan berantai, ramalan menakutkan, atau berita palsu yang sering beredar di media sosial. Mereka diajarkan langkah sederhana: cek sumber, klarifikasi ke orang tua atau guru, dan tidak sembarang membagikan informasi. Hoaks yang dibahas pun dibuat relevan dengan usia mereka, seperti pesan “berantai misterius” atau kabar bencana yang belum tentu benar.
Di tengah maraknya penggunaan gadget di kalangan pelajar sekolah dasar, penyuluhan ini menjadi upaya kecil tapi signifikan dalam membekali mereka dengan literasi digital yang sehat. “Kalau sejak kecil sudah tahu batasan, ke depannya mereka akan lebih bijak,” ujar salah satu guru kelas yang turut mendampingi kegiatan. Ia menilai kegiatan ini penting karena tak semua anak mendapatkan pemahaman yang cukup dari rumah tentang etika menggunakan media.
Penyuluhan ditutup dengan ajakan kepada seluruh peserta untuk menjadi pengguna media yang cerdas, santun, dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi bohong. Pukul 09.00, kegiatan selesai. Anak-anak pun pulang membawa satu bekal penting: pengetahuan tentang bagaimana menjadi warga digital yang baik. Dengan pembekalan ini, diharapkan mereka tak hanya menjadi pengguna media yang aktif, tetapi juga bertanggung jawab.
Oleh: M. Wendy Aditya Johansyah dan Primi Rohimi
No comments:
Post a Comment